“I am a Second Wife”
Masa SMU wanita Amerika itu hancur tatkala dirinya
hamil diusia 17 tahun. Ia terpaksa menjadi ’single mother’ diusia muda.
Namun hidupnya merasa nyaman setelah menjadi istri kedua seorang pria
Muslim.
Sekitar tiga bulan lalu, the Islamic
Forum yang diadakan setiap Sabtu di Islamic Center New York kedatangan
peserta baru. Pertama kali memasuki ruangan itu saya sangka wanita Bosnia.
Dengan pakaian Muslimah yang sangat rapih, blue eyes, dan kulit putih
bersih. Pembawaannya pun sangat pemalu, dan seolah seseorang yang telah
lama paham etika Islam.
Huda, demikianlah wanita belia itu memanggil dirinya. Menurutnya, baru saja pindah ke New York dari Michigan ikut suami yang berkebangsaan Yaman. Suaminya bekerja pada sebuah perusahaan mainan anak-anak (toys).
Tak ada menyangka bahwa wanita itu baru masuk Islam
sekitar 7 bulan silam. Huda, yang bernama Amerika Bridget Clarkson itu,
adalah mantan pekerja biasa sebagai kasir di salah satu tokoh di
Michigan. Di toko inilah dia pertama kali mengenal nama Islam dan
Muslim.
Biasanya ketika saya menerima murid baru untuk
bergabung pada kelas untuk new reverts, saya tanyakan proses masuk
Islamnya, menguji tingkatan pemahaman agamanya, dll. Ketika saya
tanyakan ke Huda bagaimana proses masuk Islamnya, dia menjawab dengan
istilah-istilah yang hampir tidak menunjukkan bahwa dia baru masuk
Islam. Kata-kata “alhamdulillah”.”Masya Allah” dst, meluncur lancar dari
bibirmya.
Dengan berlinang air mata, tanda kebahagiaannya,
Huda menceritakan proses dia mengenal Islam.“I was really trapped by
jaahiliyah (kejahilan)”, mengenang masa lalunya sebagai gadis Amerika.
“I did not even finish my High School and got pregnant when I wan only
17 years old”, katanya dengan suara lirih. Menurutnya lagi, demi
mengidupi anaknya sebagai ‘a single mother’ dia harus bekerja. Pekerjaan
yang bisa menerima dia hanyalah grocery kecil di pinggiran kota Michigan.
Suatu ketika, toko tempatnya bekerja
kedatangan costumer yang spesial. Menurutnya, pria itu sopan dan
menunjukkan ‘respek’ kepadanya sebagai kasir. Padahal, biasanya, menurut
pengalaman, sebagai wanita muda yang manis, setiap kali melayani pria,
pasti digoda atau menerima kata-kata yang tidak pantas. Hingga suatu
ketika, dia sendiri berinisiatif bertanya kepada costumernya ini, siapa
namanya dan tinggal di mana.
Mendengar namanya yang asing, Abdu Tawwab, Huda semakin bingung. Sebab nama ini sendiri belum pernah didengar.
Sejak itu pula setiap pria ini datang ke tokonya,
pasti disempatkan bertanya lebih jauh kepadanya, seperti kerja di mana,
apa tinggal dengan keluarga, dan lainnya.
Perkenalannya dengan pria itu ternyata semakin
dekat, dan pria itu juga semakin baik kepadanya dengan membawakan apa
yang dia sebut ‘reading materials as a gift”. Huda mengaku, pria itu
memberi berbagai buku-buku kecil (booklets).
Dan hanya dalam masa sekitar tiga bulan
ia mempelajari Islam, termasuk berdiskusi dengan pria tersebut. Huda
merasa bahwa inilah agama yang akan menyelamatkannya.
“Pria tersebut bersama isterinya, yang ternyata telah mempunyai 4 orang anak, mengantar saya ke Islamic Center terdekat di Michigan. Imam Islamic Center itu menuntun saya menjadi seorang Muslimah, alhamdulillah!”, kenang Huda dengan muka yang ceria.
Tapi untuk minggu-minggu selanjutnya, kata Huda, ia
tidak komunikasi dengan pria tersebut. Huda mengaku justeru lebih dekat
dengan isteri dan anak-anaknya. Kebetulan lagi, anaknya juga berusia
tiga tahun, maka sering pulalah mereka bermain bersama. “Saya sendiri
belajar shalat, dan ilmu-ilmu dasar mengenai Islam dari Sister Shaima,
nama isteri pria yang mengenalkannya pada Islam itu.
Kejamnya Poligami
Sementara itu di suatu hari, dalam acara The
Islamic Forum, minggu lalu, datang seorang tamu dari Bulgaria. Wanita
dengan bahasa Inggris seadanya itu mempertanyakan keras tentang konsep
poligami dalam Islam. Bahkan sebelum mendapatkan jawaban, perempuan ini
sudah menjatuhkan vonis bahwa “Islam tidak menghargai sama sekali kaum
wanita”, katanya bersemangat.
Huda, yang biasanya duduk diam dan lebih banyak
menunduk, tiba-tiba angkat tangan dan meminta untuk berbicara. Saya
cukup terkejut. Selama ini, Huda tidak akan pernah menyela pembicaraan
apalagi terlibat dalam sebuah dialog yang serius. Saya hanya biasa
berfikir kalau Huda ini sangat terpengaruh oleh etike Timur Tengah, di
mana kaum wanita selalu menunduk ketika berpapasan dengan lawan jenis,
termasuk dengan gurunya sendiri.
“I am sorry Imam Shamsi”, dia memulai. “I am
bothered enough with this woman’s accusation”, katanya dengan suara agak
meninggi. Saya segera menyelah: “What bothers you, sister?”. Dia
kemudian menjelaskan panjang lebar kisah hidupnya, sejak masa
kanak-kanak, remaja, hingga kemudian hamil di luar nikah, bahkan hingga
kini tidak tahu siapa ayah dari anak lelakinya yang kini berumur hampir 4
tahun itu.
Tapi yang sangat mengejutkan saya dan banyak
peserta diskusi hari itu adalah ketika mengatakan: “I am a second wife.”
Bahkan dengan semangat dia menjelaskan, betapa dia jauh lebih bahagia
dengan suaminya sekarang ini, walau suaminya itu masih berstatus suami
wanita lain dengan 4 anak. “I am happier since then“, katanya mantap.
Dia seolah berda’wah kepada wanita Bulgaria tadi:
“Don’t you see what happens to the western women around? You are
strongly opposing polygamy, which is halaal, while keeping silence to
free sex that has destroyed our people” ,jelasnya. Saya kemudian menyela
dan menjelaskan kata “halal” kepada wanita Bulgaria itu.
“I know, people may say, I have a half
of my husband. But that’s not true“, katanya. Lebih jauh dia menjelaskan
bahwa poligami bukan hanya masalah suami dan isteri. Poligami dan
kehidupan keluarga menurutnya, adalah masalah kemasyarakatan. Dan jika
seorang isteri rela suaminya beristeri lagi demi kemaslahatan
masyarakat, maka itu adalah bagian dari pengorbananya bagi kepentingan
masyarakat dan agama.
Kami yang dari tadi mendengarkan
penjelasan Huda itu hanya ternganga. Hampir tidak yakin bahwa Huda
adalah isteri kedua, dan juga hampir tidak yakin kalau Huda yang pendiam
selama ini ternyata memiliki pemahaman agama yang dalam.
Saya kemudian bertanya kepada Huda: “So who is your
husband?” Dengan tertawa kecil dia menjawab “the person who introduced
me to Islam”.Dan lebih mengejutkan lagi: “his wife basically suggested
us to marry”, menutup pembicaraan hari itu.
Diskusi Islamic Forum hari itu kita akhiri dengan penuh bisik-bisik. Ada
yang setuju, tapi ada pula yang cukup sinis. Yang pasti, satu lagi
rahasia terbuka. Saya sendiri hingga hari ini belum pernah ketemu dengan
suami Huda karena menurutnya, “he is a shy person. He came to the
Center but did not want to talk to you”, kata Huda ketika saya
menyatakan keinginan untuk ketemu suaminya.
“Huda, may Allah bless you and your
family. Be strong, many challenges lay ahead in front of you”,
masehatku. Doa kami menyertaimu Huda, semoga dikuatkan dan dimudahkan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar