Senin, 10 Oktober 2011

Kemiskinan

Penduduk dan pembangunan saling bertemali erat secara timbal-balik. Pertalian penduduk dan pembangunan dapat dilihat dalam konteks ekonomi, terkait dengan agregat produksi dan konsumsi sumber daya.

Pertumbuhan penduduk yang cepat dan jumlah yang makin besar akan menggerus sumber yang tersedia. Jumlah penduduk yang terus meningkat menuntut ketersediaan sumber daya secara memadai dan berkelanjutan. Bila sumber daya tak mencukupi untuk dikonsumsi, hal itu akan melahirkan kelangkaan yang mengarah pada perebutan sumber daya di antara penduduk yang dapat memicu konflik.

Berbagai kalangan telah mengingatkan bahaya pertumbuhan penduduk yang tak terkendali. Sampai 2010, penduduk Indonesia sudah berjumlah 238 juta dan pada 2025 nanti diprediksi akan mencapai 273,2 juta. Ledakan penduduk jelas menjadi ancaman serius yang amat mencemaskan.

Ancaman paling nyata adalah kian meningkatnya kemiskinan, terutama bila laju pertumbuhan penduduk tidak dibarengi kemampuan menyediakan kebutuhan dasar: pangan, sandang, papan. Logika pemikiran ini sangat dipengaruhi mazhab Malthusian yang berhipotesis bahwa pertumbuhan penduduk bergerak secara eksponensial (cepat), sementara sumber daya pendukung, terutama pasokan kebutuhan dasar,bergerak secara aritmetikal (lambat).

Hipotesis lanjutan Malthus dapat diringkas dalam rumusan berikut: pertumbuhan penduduk berkorelasi positif dengan pendapatan per kapita. Namun, pertumbuhan penduduk pada akhirnya akan menurunkan pendapatan sehingga tidak semua orang memperoleh bagian kekayaan secara merata.

Selain itu, penduduk yang berjumlah besar niscaya mengonsumsi sumber daya yang besar pula,padahal daya dukung sumber daya terbatas sehingga penduduk akan terjebak pada perangkap kemiskinan. Pertumbuhan penduduk yang tak terkendali merupakan pangkal utama kemiskinan.

Orang terjerat kemiskinan karena punya keluarga berukuran besar tanpa daya dukung ekonomi yang kuat untuk menopangnya. Karena itu,pembatasan jumlah anak untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk mutlak dilakukan.

Maksimalkan Potensi

Namun, hipotesis Malthus ini kemudian disanggah oleh banyak ilmuwan, terutama para ahli ekonomi dan demografi. Pokok kritik mereka bertumpu pada penilaian bahwa Malthus hanya melihat penduduk sebagai faktor tunggal kemiskinan dan cenderung mengabaikan banyak faktor determinan yang lain.

Kemiskinan bersifat multidimensional yang tak bisa dijelaskan hanya dengan menggunakan pendekatan the Malthusian calculus semata. Para penyangga argumen Malthus ini merujuk pandangan Karl Marx yang mengatakan bahwa penduduk adalah kekuatan produksi sekaligus konsumsi.

Penduduk punya kemampuan menciptakan kekayaan dan memproduksi sumber daya, bahkan melampaui kebutuhan konsumsi untuk diri sendiri. Penduduk yang terus tumbuh memang akan mengonsumsi sumber daya. Namun,penting dicatat,pertumbuhan per kapita dalam hal produksi melampaui pertumbuhan per kapita dalam hal konsumsi.

Salah seorang kritikus, Karl Persson,menulis: the fears that Malthus expressed seem to be utterly misplaced.World population has increased by a factor of six, world food production by a factor of ten, and still not all land fit for agriculture is currently being used (An Economic History of Europe: Knowledge, Institutions, and Growth, Cambridge, 2010).

Bahkan pemikir beraliran neoliberal seperti Julian Simon tiga dekade silam juga telah menyanggah argumen Malthus dalam Population: The Ultimate Resource (1981) yang memicu polemik hangat di kalangan para sarjana dan akademisi dunia.Berbeda dari pandangan Malthus yang menyebut penduduk sebagai konsumen yang memerlukan pasokan sumber daya, Simon berargumen bahwa penduduk itu sendiri adalah sumber daya,punya daya cipta, dan dengan kelengkapan fisik serta pikiran yang sempurna mampu bekerja, mengelola, bahkan menciptakan sumber daya baru.

Agar penduduk dapat berfungsi menjadi kekuatan utama dalam menggerakkan pembangunan ekonomi dan memacu produktivitas nasional, negara harus berinvestasi untuk mengembangkan sumber daya insani, terutama melalui pendidikan dan kesehatan.

Investasi diperlukan untuk pengembangan keahlian teknis dan penguasaan teknologi sehingga potensi penduduk menjadi optimal untuk berproduksi dan tidak mengonsumsi sumber daya semata.Simon berpandangan bahwa peran penduduk dalam proses produksi jauh lebih besar dan menentukan dibandingkan dengan peran mereka sebagai konsumen.

Distribusi Pendapatan

Para kritikus melawan argumen Malthus dengan keyakinan bahwa sejatinya bukan pertumbuhan penduduk yang menjadi pangkal kemiskinan, melainkan ketidakadilan dalam distribusi pendapatan. Kemiskinan adalah produk pembangunan yang terkait dengan pilihan kebijakan ekonomi yang diterapkan di suatu negara. Saksikan, di banyak negara kebijakan pembangunan ekonomi lebih berorientasi pada ekonomi kapitalis yang cenderung menciptakan ketidakadilan sosial.

Maka, klaim bahwa jumlah penduduk besar menjadi sumber utama kemiskinan jelas mengabaikan fakta betapa sebaran kemiskinan dan ketidakmerataan kekayaan secara geografis dan kelompok sosial lebih berkaitan dengan sifat dan struktur ekonomi kapitalis yang eksploitatif, dominatif, dan hegemonik, bukan ukuran dan tingkat pertumbuhan penduduk.

Sungguh, masalah ketidakadilan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan menjadi gejala umum yang kerap dijumpai di berbagai belahan bumi, terutama di negaranegara sedang berkembang, termasuk Indonesia.Menurut Duncan Green, ketidakadilan distribusi pendapatan dalam skala global sungguh mencengangkan dan memilukan hati.

Pendapatan 500 orang paling kaya (miliarder) di dunia melampaui pendapatan 416 juta orang paling miskin! Di negara-negara sedang berkembang, setiap menit dalam sehari satu perempuan meninggal saat melahirkan atau hamil yang tak mendapat pertolongan medis dan 20 anak meninggal akibat aneka penyakit: malaria, diare.

Di negaranegara miskin terdapat 800 juta orang menderita kelaparan, sementara di negara-negara kaya jutaan orang mengidap obesitas karena makan berlebihan (lihat From Poverty to Power, Oxford,2008). Seperti umumnya negara-negara sedang berkembang, Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat ketimpangan pendapatan paling tinggi di antara kelompok masyarakat kayamiskin.

Kesenjangan sosial ekonomi antarlapisan penduduk demikian mencolok yang kian menegaskan ancaman kemiskinan bilamana penduduk tumbuh tak terkendali.Dengan tetap memandang penting untuk melakukan pengendalian pertumbuhan penduduk, sesuatu yang fundamental penting pula dilakukan: menggeser orientasi pembangunan dan mengubah pilihan kebijakan ekonomi.

Para kritikus menilai bahwa sumber utama kesenjangan sosial di Indonesia adalah kebijakan ekonomi yang berbasis pasar bebas—penjelmaan ideologi kapitalis neoliberal. Bila kebijakan ekonomi kapitalis yang menggeruskeadilanterusdipertahankan, laju pertumbuhan penduduk memang hanya akan mempercepat peningkatan kemiskinan belaka.● AMICH ALHUMAMI Peneliti Sosial di Department of Anthropology, University of Sussex, United Kingdom




Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/404657/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar