Selasa, 29 November 2011

pendidikan !

Pendidikan

Jarang ada orang mau mengakui dengan jujur, sistem pendidikan kita adalah sistem yang sekular-materialistik. Biasanya yang dijadikan argumentasi, adalah uu sisdiknas no. 20 tahun 2003 pasal 4 ayat 1 yang berbunyi, “pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.”
Tapi perlu diingat, sekularisme itu tidak otomatis selalu anti agama. Tidak selalu anti “iman” dan anti “taqwa”. Sekularisme itu hanya menolak peran agama untuk mengatur kehidupan publik, termasuk aspek pendidikan. Jadi, selama agama hanya menjadi masalah privat dan tidak dijadikan asas untuk menata kehidupan publik seperti sebuah sistem pendidikan, maka sistem pendidikan itu tetap sistem pendidikan sekular, walaupun para individu pelaksana sistem itu beriman dan bertaqwa (sebagai perilaku individu).
Sesungguhnya diakui atau tidak, sistem pendidikan kita adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Hal ini dapat dibuktikan antara lain pada uu sisdiknas no. 20 tahun 2003 bab vi tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagaman, dan khusus.
Akhirnya, sektor-sektor modern (industri manufaktur, perdagangan, dan jasa) diisi oleh orang-orang yang relatif awam terhadap agama karena orang-orang yang mengerti agama terkumpul di dunianya sendiri (madrasah, dosen/guru agama, depag), tidak mampu terjun di sektor modern.
Jadi, pendidikan sekular memang bisa membikin orang pandai, tapi masalah integritas kepribadian atau perilaku, tidak ada jaminan sama sekali. Sistem pendidikan sekular itu akan melahirkan insan pandai tapi buta atau lemah pemahaman agamanya. Lebih buruk lagi, yang dihasilkan adalah orang pandai tapi korup. Profesional tapi bejat moral. Ini adalah out put umum dari sistem pendidikan sekular.
Sistem pendidikan yang material-sekularistik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekular. Dalam sistem sekular, aturan-aturan, pandangan, dan nilai-nilai islam memang tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Karena itu, di tengah-tengah sistem sekularistik ini lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama.
Solusi Pemecahannya
Penyelesaian masalah mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental. Itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perombakan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma islam. Ini sangat penting dan utama.
Artinya, setelah masalah mendasar diselesaikan, barulah berbagai macam masalah cabang pendidikan diselesaikan, baik itu masalah rendahnya sarana fisik, kualitas guru, kesejahteraan gutu, prestasi siswa, kesempatan pemerataan pendidikan, relevansi pendidikan dengan kebutuhan, dan mahalnya biaya pendidikan.
Solusi masalah mendasar itu adalah merombak total asas sistem pendidikan yang ada, dari asas sekularisme diubah menjadi asas islam, bukan asas yang lain.
Bentuk nyata dari solusi mendasar itu adalah mengubah total uu sistem pendidikan yang ada dengan cara menggantinya dengan uu sistem pendidikan islam. Hal paling mendasar yang wajib diubah tentunya adalah asas sistem pendidikan. Sebab asas sistem pendidikan itulah yang menentukan hal-hal paling prinsipil dalam sistem pendidikan, seperti tujuan pendidikan dan struktur kurikulum.
  1. 2. Masalah-Masalah Cabang
Masalah-masalah cabang yang dimaksud di sini, adalah segala masalah selain masalah paradigma pendidikan, yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan. Masalah-masalah cabang ini tentu banyak sekali macamnya, di antaranya yang terpenting adalah sebagai berikut :
  1. A. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk Sarana Fisik Misalnya, Banyak Sekali Sekolah Dan Perguruan Tinggi Kita Yang Gedungnya Rusak, Kepemilikan Dan Penggunaan Media Belajar Rendah, Buku Perpustakaan Tidak Lengkap. Sementara Laboratorium Tidak Standar, Pemakaian Teknologi Informasi Tidak Memadai Dan Sebagainya. Bahkan Masih Banyak Sekolah Yang Tidak Memiliki Gedung Sendiri, Tidak Memiliki Perpustakaan, Tidak Memiliki Laboratorium Dan Sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) Menyebutkan Untuk Satuan Sd Terdapat 146.052 Lembaga Yang Menampung 25.918.898 Siswa Serta Memiliki 865.258 Ruang Kelas. Dari Seluruh Ruang Kelas Tersebut Sebanyak 364.440 Atau 42,12% Berkondisi Baik, 299.581 Atau 34,62% Mengalami Kerusakan Ringan Dan Sebanyak 201.237 Atau 23,26% Mengalami Kerusakan Berat. Kalau Kondisi Mi Diperhitungkan Angka Kerusakannya Lebih Tinggi Karena Kondisi Mi Lebih Buruk Daripada Sd Pada Umumnya. Keadaan Ini Juga Terjadi Di Smp, Mts, Sma, Ma, Dan Smk Meskipun Dengan Persentase Yang Tidak Sama.
  1. B. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan Guru Di Indonesia Juga Amat Memprihatinkan. Kebanyakan Guru Belum Memiliki Profesionalisme Yang Memadai Untuk Menjalankan Tugasnya Sebagaimana Disebut Dalam Pasal 39 Uu No 20/2003 Yaitu Merencanakan Pembelajaran, Melaksanakan Pembelajaran, Menilai Hasil Pembelajaran, Melakukan Pembimbingan, Melakukan Pelatihan, Melakukan Penelitian Dan Melakukan Pengabdian Masyarakat.
Bukan Itu Saja, Sebagian Guru Di Indonesia Bahkan Dinyatakan Tidak Layak Mengajar. Persentase Guru Menurut Kelayakan Mengajar Dalam Tahun 2002-2003 Di Berbagai Satuan Pendidikan Sbb: Untuk Sd Yang Layak Mengajar Hanya 21,07% (Negeri) Dan 28,94% (Swasta), Untuk Smp 54,12% (Negeri) Dan 60,99% (Swasta), Untuk Sma 65,29% (Negeri) Dan 64,73% (Swasta), Serta Untuk Smk Yang Layak Mengajar 55,49% (Negeri) Dan 58,26% (Swasta).
Kelayakan Mengajar Itu Jelas Berhubungan Dengan Tingkat Pendidikan Guru Itu Sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) Menunjukkan Dari Sekitar 1,2 Juta Guru Sd/Mi Hanya 13,8% Yang Berpendidikan Diploma D2-Kependidikan Ke Atas. Selain Itu, Dari Sekitar 680.000 Guru Sltp/Mts Baru 38,8% Yang Berpendidikan Diploma D3-Kependidikan Ke Atas. Di Tingkat Sekolah Menengah, Dari 337.503 Guru, Baru 57,8% Yang Memiliki Pendidikan S1 Ke Atas. Di Tingkat Pendidikan Tinggi, Dari 181.544 Dosen, Baru 18,86% Yang Berpendidikan S2 Ke Atas (3,48% Berpendidikan S3).
Walaupun Guru Dan Pengajar Bukan Satu-Satunya Faktor Penentu Keberhasilan Pendidikan Tetapi, Pengajaran Merupakan Titik Sentral Pendidikan Dan Kualifikasi, Sebagai Cermin Kualitas, Tenaga Pengajar Memberikan Andil Sangat Besar Pada Kualitas Pendidikan Yang Menjadi Tanggung Jawabnya. Kualitas Guru Dan Pengajar Yang Rendah Juga Dipengaruhi Oleh Masih Rendahnya Tingkat Kesejahteraan Guru.
  1. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan indonesia. Berdasarkan survei fgii (federasi guru independen indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru pns per bulan sebesar rp 1,5 juta. Guru bantu rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/lks, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (republika, 13 juli, 2005).
Dengan adanya uu guru dan dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (pns) agak lumayan. Pasal 10 uu itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan pikiran rakyat 9 januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 pts di jawa barat dan banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat uu guru dan dosen (pikiran rakyat 9 januari 2006).\
Permasalahan kesejahteraan guru biasanya akan berimplikasi pada kinerja yang dilakukannya dalam melaksanakan proses pendidikan. Berdasarkan hasil survei dari human development index (hdi) menunjukkan bahwa sebanyak 60% guru sd, 40% guru sltp, 43% guru smu, dan 34% guru smk belum memenuhi standardisasi mutu pendidikan nasional. Lebih berbahaya lagi jika dilihat dari hasil temuan yang menunjukkan 17,2% guru di indonesia mengajar bukan pada bidang keahlian mereka. (toharuddin, oktober 2005).
Guru sebagai tenaga kependidikan juga memiliki peran yang sentral dalam penyelenggaraan suatu sistem pendidikan. Sebagai sebuah pekerjaan, tentu dengan menjadi seorang guru juga diharapkan dapat memperoleh kompensasi yang layak untuk kebutuhan hidup. Dalam teori motivasi, pemberian reward dan punishment yang sesuai merupakan perkara yang dapat mempengaruhi kinerja dan mutu dalam bekerja, termasuk juga perlunya jaminan kesejahteraan bagi para pendidik agar dapat meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan yang selama ini masih terpuruk. Dalam hal tunjangan, sudah selayaknya guru mendapatkan tunjangan yang manusiawi untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya mengingat peranan dari seorang guru yang begitu besar dalam upaya mencerdaskan suatu generasi.
  1. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut trends in mathematic and science study (timss) 2003 (2004), siswa indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa malaysia dan singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 september 2004 lalu United Nations For Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul human development report 2004. Di dalam laporan tahunan ini indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut laporan bank dunia (greaney,1992), studi iea (internasional association for the evaluation of educational achievement) di asia timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas iv sd berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa sd: 75,5 (hongkong), 74,0 (singapura), 65,1 (thailand), 52,6 (filipina), dan 51,7 (indonesia).
Anak-anak indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi the third international mathematic and science study-repeat-timss-r, 1999 (iea, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa sltp kelas 2 indonesia berada pada urutan ke-32 untuk ipa, ke-34 untuk matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah asia week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
  1. E. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan.
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat sekolah dasar. Data balitbang departemen pendidikan nasional dan direktorat jenderal binbaga departemen agama tahun 2000 menunjukan angka partisipasi murni (apm) untuk anak usia sd pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian apm ini termasuk kategori tinggi. Angka partisipasi murni pendidikan di sltp masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut
  1. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data bappenas (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan smu sebesar 25,47%, diploma/s0 sebesar 27,5% dan pt sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data balitbang depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
  1. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari taman kanak-kanak (tk) hingga perguruan tinggi (pt) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk tk dan sdn saja saat ini dibutuhkan biaya rp 500.000, — sampai rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas rp 1 juta. Masuk sltp/slta bisa mencapai rp 1 juta sampai rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan mbs (manajemen berbasis sekolah). Mbs di indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, komite sekolah/dewan pendidikan yang merupakan organ mbs selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah komite sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan komite sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota komite sekolah adalah orang-orang dekat dengan kepala sekolah. Akibatnya, komite sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan kepala sekolah, dan mbs pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya ruu tentang badan hukum pendidikan (ruu bhp). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk badan hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan tinggi negeri pun berubah menjadi badan hukum milik negara (bhmn). Munculnya bhmn dan mbs adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. Bhmn sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa perguruan tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri indonesia sebesar 35-40 persen dari apbn setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (kompas, 10/5/2005).
Dari apbn 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam apbn (www.kau.or.id). Rencana pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti undang-undang sistem pendidikan nasional, ruu badan hukum pendidikan, rancangan peraturan pemerintah (rpp) tentang pendidikan dasar dan menengah, dan rpp tentang wajib belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam pasal 53 (1) uu no 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional (sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator lsm education network for justice (enj), yanti mukhtar (republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi revrisond bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat bank dunia. Melalui rancangan undang-undang badan hukum pendidikan (ruu bhp), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (bhp) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari sd hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa ptn yang sekarang berubah status menjadi badan hukum milik negara (bhmn) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di indonesia. Di jerman, prancis, belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
  1. Belum Menghasilkan Life Skill Yang Sesuai
Dalam kaitannya dengan life skill yang dihasilkan oleh peserta didik setelah menempuh suatu proses pendidikan, maka berdasarkan pp no.19/2005 sebagaimana dalam pasal 13 bahwa:1) kurikulum untuk smp/mts/ smplb atau bentuk lain yang sederajat, sma/ma/smalb atau bentuk lain yang sederajat, smk/mak atau bentuk lain yang sederajat dapat memasukan pendidikan kecakapan hidup. 2) pendidikan kecakapan hidup yang dimaksud meliputi kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional.
Selain itu ditetapkan pula standar kompetensi lulusan, dalam pasal 26 ditetapkan sebagai berikut: 1). Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan dasar bertujuan untuk meletakan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri, dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. 2). Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan menengah umum bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, akhlak mulia, serta keterampilan hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. 3). Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan menengah kejuruan bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan kepribadianm akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya. 4). Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan tinggi bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang berakhlak mulia, memiliki pengetahuan, keterampilan, kemandirian, dan sikap untuk menemukan, mengembangkan, serta menerapkan ilmu, teknologi dan seni yang bermanfaat bagi kemanusiaan.
Adapun kriteria penilaian hasil belajar dapat dilakukan oleh pendidik, satuan pendidikan, maupun pemerintah. Penilaian hasil belajar oleh pendidik diatur dalam pasal 64 antara lain penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran agama, akhlak mulia, pendidikan kewarganegaraan dan akhlak mulia dilakukan melalui: a. Pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan kepribadian peserta didik, serta. B. Ulangan, ujian, dan atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik. Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi diukur melalui ulangan, penugasan, dan atau bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik materi yang dinilai. Penilaian hasil belajr kelompok mata pelajaran estetika dilakukan melalui pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan ekspresi psikomotorik peserta didik. Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan dolakukan melalui: a. Pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk meniali perkembangan psikomotorik dan afektif peserta didik, dan; b. Ulangan dan atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka dalam menciptakan life skill yang diharapkan dimiliki oleh siswa ukuran yang digunakan adalah penilaian-penilaian di atas. Namun kenyataan sebaliknya justru menunjukan bahwa korelasi antara proses pendidikan selama ini dengan pembentukan kepribadian siswa merupakan hal yang dipertanyakan? Kasus tawuran antar pelajar, seks bebas, narkoba, dan berbagai masalah sosial lainnya merupakan indikator yang relevan untuk mempertanyakan hal ini.
  1. Pendidikan Yang Belum Berbasis Pada Masyarakat Dan Potensi Daerah
Struktur kurikulum yang ditetapkan berdasarkan uu no.20/2003 dalam pasal 36 tentang kurikulum menyebutkan: (1) pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (2) kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. (3) kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka negara kesatuan republik indonesia dengan memperhatikan: a. Peningkatan iman dan takwa; b. Peningkatan akhlak mulia; c. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; d. Keragaman potensi daerah dan lingkungan; e. Tuntutan pembangunan daerah dan nasional; f. Tuntutan dunia kerja; g. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; h. Agama; i. Dinamika perkembangan global; dan j. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. (4) ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Dalam pp no.19/2005 antara lain dalam pasal 6 yang menyebutkan:1) kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kewarganegaraan dan akhlak mulia, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olahraga dan kesehatan. 6). Kurikulum dan silabus sd/mi/sdlb/paket a, atau bentuk lain yang sederajat menekankan pentingnya kemampuan dan kegemaran membaca dan menulis. Kecakapan berhitung, serta kemampuan berkomunikasi.
Masyarakat dan lingkungan tempat tinggal merupakan bagian yang terintegrasi dengan siswa sebagai peserta didik. Proses pendidikan yang sebenarnya tentu melibatkan peranan keluarga, lingkungan-masyarakat dan sekolah, sehingga jika salah satunya tidak berjalan dengan baik maka dapat mempengaruhi keberlangsungan pendidikan itu sendiri.
  1. Belum Optimalnya Kemitraan Dengan Dunia Usaha/ Dunia Industri
Berkaitan dengan peranan masyarakat dalam pendidikan dalam uu no.20/2005 sisdiknas pasal 54 tentang peran serta masyarakat dalam pendidikan menyebutkan : (1) peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. (3) ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Sebagai contoh, sebagaimana diungkapkan oleh kadisdik jabar, dadang dally bahwa dunia usaha dan dunia industri merupakan bagian dari masyarakat yang memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Perihal kegiatan kerjasama dengan dunia usaha sinergitas telah mulai dilakukan. Prosesnya telah memasuki tahap inventarisasi. Implementasinya, dunia usaha didorong untuk membangun sekolah, bukan menggalang dana dari dunia usaha. (www.bapeda-jabar.go.id/2006)
Hal yang justru memunculkan kerawanan saat ini adalah dengan adanya ruu bhp maka peranan pihak swasta (pengusaha) mendapatkan akses yang lebih luas untuk mengelola pendidikan, sehingga bagaimana jadinya kalau kemitraan dengan du/di tersebut ternyata menempatkan pengusaha ataupun perusahaan sebagai pihak yang berinvestasi dalam lembaga pendidikan dengan menuntut adanya return yang sepadan dari investasinya tersebut? Kondisi ini pada akhirnya akan memperkokoh keberlangsungan kapitalisasi pendidikan.
Dalam kaitan antara penyerapan du/di terhadap lulusan sekolah maka berdasarkan data bappenas (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan smu sebesar 25,47%, diploma/s0 sebesar 27,5% dan pt sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data balitbang depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
  1. Proses Pembelajaran Yang Konvensional
Dalam hal pelaksanaan proses pembelajaran, selama ini sekolah-sekolah menyelenggarakan pendidikan dengan segala keterbatasan yang ada. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan sarana-prasarana, ketersediaan dana, serta kemampuan guru untuk mengembangkan model pembelajaran yang efektif.
Dalam pp no 19/2005 tentang standar nasional pendidikan disebutkan dalam pasal 19 sampai dengan 22 tentang standar proses pendidikan, bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Adanya keteladanan pendidik, adanya perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan yang efektif dan efisien dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan standar yang ditetapkan di atas, maka proses pembelajaran yang dilakukan antara peserta didik dengan pendidik seharusnya harus meninggalkan cara-cara dan model yang konvensional sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Kenyataan saat ini, banyak diantara pendidik di kota bandung yang masih melaksanakan proses pembelajaran secara konvensional bahkan diantaranya belum menguasai teknologi informasi seperti komputer dan internet. sebagaimana di beritakan dalam www.pikiran rakyat.com (03/2004) bahwa ternyata di kota bandung banyak guru sd yang belum menguasai komputer dan internet. menurut forum aksi guru indonesia (fagi) kota bandung, hanya sebagian kecil guru yang sudah menguasai teknologi tersebut, padahal menguasai komputer akan mempermudah tugas guru, misalnya ketika memproses nilai-nilai siswa. terutama guru-guru yang sudah lama mengabdi, sedikit sekali menguasai komputer dan mengakses internet. apalagi guru-guru sd, sehingga sekarang ini pada umumnya kemampuan dalam penguasaan teknologi informasi ini kalah oleh para siswanya. padahal, dengan penguasaan teknologi informasi tersebut akan mempermudah tugas rutin para guru. selama ini, tugas tersebut dilakukan guru secara manual. kurangnya penguasaan komputer tersebut bukan karena tidak tersedianya sarana komputer di sekolah, namun karena kurang kemampuan dan kemauan. sehingga, komputer tersebut lebih banyak digunakan oleh bagian tata usaha. akibatnya, saat seorang guru yang memerlukan jasa komputer, cenderung untuk minta bantuan tenaga karyawan tata usaha.
sudah selayaknya profesi sebagai seorang pendidik membutuhkan kompetensi yang terintegrasi baik secara intelektual-akademik, sosial, pedagogis, dan profesionalitas yang kesemuanya berlandaskan pada sebuah kepribadian yang utuh pula, sehingga dalam menjalankan fungsinya sebagai pendidik senantiasa dapat mengembangkan model-model pembelajaran yang efektif, inovatif, dan relevan.
3. mutu sdm pengelola pendidikan
sumber daya pengelola pendidikan bukan hanya seorang guru atau kepala sekolah, melainkan semua sumber daya yang secara langsung terlibat dalam pengelolaan suatu satuan pendidikan. rendahnya mutu dari sdm pengelola pendidikan secara praktis tentu dapat menghambat keberlangsungan proses pendidikan yang berkualitas, sehingga adaptasi dam sinkronisasi terhadap berbagai program peningkatan kualitas pendidikan juga akan berjalan lamban.
dalam kaitannya dengan regulasi pengelolaan pendidikan maka yang dilakukan oleh pemerintah saat ini mengacu pada uu no.20/2003 dan pp no 19/2005 tentang snp yang dalam pasal 49 tentang standar pengelolaan oleh satuan pendidikan yang intinya menyebutkan bahwa pengelolaan satuan pendidikan dasar dan menengah menerapkan pola manajemen berbasis sekolah, sedangkan untuk satuan pendidikan tinggi menerapkan pola otonomi perguruan tinggi. Standar pengelolaan oleh satuan pendidikan diantaranya satuan pendidikan harus memiliki pedoman yang mengatur tentang : kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabus; kalender pendidikan/akademik; struktur organisasi; pembagian tugas diantara pendidik; pembagian tugas diantara tenaga kependidikan; peraturan akademik; tata tertib satuan pendidikan; kode etik hubungan; biaya operasional satuan pendidikan.
Kemudian standar pengelolaan oleh pemerintah daerah (pasal 59) meliputi penyusunan rencana kerja pendidikan dengan memprioritaskan: wajib belajar; peningkatan angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan menengah; penuntasan pemberantasan buta aksara; penjaminan mutu pada satuan pendidikan; peningkatan status guru sebagai profesi; akreditasi pendidikan; peningkatan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat; dan pemenuhan standar pelayanan minimal (spm) bidang pendidikan.
Sedangkan standar pengelolaan oleh pemerintah (pasal 60) meliputi penyusunan rencana kerja tahunan dengan memprioritaskan program: wajib belajar; peningkatan angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan menengah dan tinggi; penuntasan pemberantasan buta aksara; penjaminan mutu pada satuan pendidikan; peningkatan status guru sebagai profesi; peningkatan mutu dosen; standardisasi pendidikan; akreditasi pendidikan; peningkatan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan lokal, nasional dan global; pemenuhan standar pelayanan minimal (spm) bidang pendidikan; dan penjaminan mutu pendidikan nasional.
Dengan memahami kerangka dasar penyelenggaraan pendidikan nasional yang berlandaskan sekulerisme, maka standar pengelolaan pendidikan secara nasionalpun akan sejalan dengan sekulerisme tersebut, semisal adanya mekanisme mbs dan otonomi pt sebagaimana disebutkan di atas yang merupakan implementasi dari otonomi pendidikan.
Solusi Pemecahannya
Seperti diuraikan di atas, selain adanya masalah mendasar, sistem pendidikan di indonesia juga mengalami masalah-masalah cabang, Untuk mengatasi masalah-masalah cabang di atas, secara garis besar ada dua solusi yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah cabang yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan gutu, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa. Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya. Upaya perbaikan secara tambal sulam dan parsial, semisal perbaikan kurikulum, kualitas pengajar, sarana-prasarana dan sebagainya tidak akan dapat berjalan dengan optimal sepanjang permasalahan mendasarnya belum diperbaiki

POLIGAMI

POLIGAMI !
NAMANYA sederhana, Sujana. Pria berusia 36 tahun yang sehari-hari punya profesi sebagai pedagang tanaman hias ini tidak setenar Aa Gym, profesinya pun tidak berhubungan langsung dengan sesuatu yang berkaitan dengan dakwah. Tetapi dalam hal jumlah istri, Mang Jana begitu panggilan akrabnya, tidak kalah dengan Aa Gym. Mang Jana memiliki dua orang istri. Istri terakhirnya ia nikahi tiga bulan yang lalu.
Baginya, beristri lebih dari satu (poligami) adalah hal yang wajar sebab sudah jadi tradisi keluarga. Ayah dan kakeknya adalah pelaku poligami. Alasannya pun tidak semata-mata  dalil keagamaan dan peneladanan terhadap Nabi Muhammad.
“Yang membuat saya berpoligami adalah kedekatan saya dengan istri kedua dan keluarganya semenjak saya kanak-kanak. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya kami menikah sehingga akhirnya mempererat silaturahmi kedua keluarga yang sudah berteman lama,.” Ujarnya sambil menambahkan tentang  prinsip keadilan yang disyaratkan Al-Qur’an. “Saya yakin sepenuhnya bahwa saya sudah berbuat adil untuk istri-istri saya. Sepanjang ingatan, saya juga telah berusaha sekuat tenaga untuk adil.”
Kalaupun ada dampak buruk, mang Jana menegaskan bahwa setiap masalah bisa diselesaikan dengan baik asal seorang laki-laki mampu menjadi pemimpin keluarga serta menggunakan prinsip keterbukaan sebagai pendekatan utama.
Dalil AL-Qur’an
Banyak pelaku poligami mengedepankan argumen atau alasan pembolehan menurut agama. Di sisi lain, dalil keagamaan ini ditentang oleh kalangan feminis dan pembela hak-hak perempuan, salah satunya Faqihuddin Abdul Kodir, pembela hak-hak perempuan yang tinggal di Cirebon.
Menurutnya, Al-Qur’an hanya dijadikan justifikasi sebab kebanyakan orang tidak memahami Al-Qur’an lebih dulu sebelum melakukan poligami. “Yang sering didahulukan adalah nafsu, punya wanita idaman lain. Minimal punya keinginan dulu baru cari argumentasi agar tidak mengalami tentangan. Untuk menundukan orang yang menentangnya, digunakanlah dalil Al-Qur’an” ujar Sekjend Fahmina Institute ini kepada RUAS.
“Poligami merupakan masalah sosial. Sangat tidak relevan ketika Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 4 dipahami sebagai ayat poligami. Ayat tersebut bukan membolehkan poligami, tapi justru mewajibkan keadilan dalam berperilaku,” tuturnya.
Perilaku dalam ayat ini, pertama berperilaku adil pada anak yatim, kedua perilaku adil dalam poligami, ketiga perilaku adil pada mahar pernikahan. Ketiga-tiganya, Al-Qur ’an meminta orang untuk adil.
“Artinya, ketiga aspek ini sesungguhnya sudah ada di masyarakat, poligami sudah lama ada sejak zaman jahiliyah, tidak perlu Al-Qur’an turun untuk membuat orang berpoligami, laki-laki pasti bernafsu untuk itu. Ketika kemudian laki-laki yang berkuasa, maka perempuan yang ditundukan, poligami sudah terlaksana sedemikian rupa sebelum Al-Qur’an turun. Al-Qur’an datang untuk memberi kualitas bahwa poligami  jangan semena-mena, sebab dulu laki-laki semena-mena dalam berpoligami,” lanjutnya.
Meneladani Nabi
Menanggapi alasan peneladanan Nabi Muhammad SAW, Faqih tidak setuju dengan pendapat ini. Menurutnya urusan pengelolaan nafsu tidak bisa disejajarkan dengan alasan peneladanan.
“Kalau mau meneladani Nabi dalam hal poligami saat ini banyak yang berbeda dengan perilaku poligami masyarakat kita, seperti berpoligami setelah umur 40 tahun, hanya satu isteri Nabi yang perawan, sisanya janda.
Lalu cara memperlakukannya, Nabi Muhammad SAW ketika berpoligami benar-benar memperlakukan istri-istrinya dengan adil. Tapi poligami yang terjadi sekarang jauh dari teladan Nabi. “Kalau mau meneladani, ambil yang prinsipnya yaitu Nabi tidak mau melakukan kekerasan terhadap perempuan dan adil, ini yang paling prinsip, dan peneladanan ini lebih mudah dicapai dengan cara tidak berpoligami.”
Kecuali itu, kesalahpahaman dalam peneladan Nabi diperparah oleh tindakan sebagian orang yang dianggap tokoh agama. Selain itu, ada kelompok yang berusaha mengampanyekan poligami seperti yang dilakukan oleh Puspo Wardoyo lewat Biro Konsultasi Keluarga Sakinah dan Poligami (BKKSP) dan memberikan Poligamy Award kepada pelaku-pelaku poligami.
Meski dalam wilayah jurisprudensi Islam (Fiqih) poligami masih dianggap legal, namun menurutnya dalam fiqih tidak ada pembahasan yang panjang tentang poligami. “Yang ada hanya bab nikah dan laki-laki boleh menikahi lebih dari satu sampai empat asal adil, titik. Tidak sampai membahas manfaatnya akan masuk surga atau tidak. Imam Ghazali sendiri menegaskan bahaya berpoligami. Meski punya satu istri tetap harus hati-hati sebab “pernikahanmu, surgamu dan nerakamu.”
UU anti Poligami
Kekhawatiran banyak kalangan feminis akan dampak buruk poligami sangat beralasan. Terutama terhadap perempuan. Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi dalam keluarga poligami. Secara normatif sangat sulit menerapkan konsep keadilan yang menjadi prinsip dasar poligami.
Konsep keadilan lebih banyak ditentukan laki-laki. Kalau mau fair, yang ngomong keadilan ya harus dari perspektif perempuan. Sebab menurutnya, perempuan menjadi orang pertama yang mendapat persoalan akibat poligami. Mereka terlukai tidak hanya dari sisi materi tapi juga dari sisi mental.
Negara dalam hal ini cukup arif menyikapi masalah poligami dengan cara mengatur syarat-syaratnya. Meski begitu, negara dinilai tidak tegas mengatur masalah poligami. Terbukti dengan tidak adanya sanksi bagi pelanggar aturan yang tertuang dalam UU Perkawinan. “Mestinya kalau terjadi pelanggaran aturan maka harus ada sanksi hukum. Sayangnya, hal ini tidak dilakukan negara.
Keadaan ini jelas tidak menguntungkan perempuan terutama di Indonesia. Karena itu saatnya sekarang dibuat UU anti poligami untuk melindungi perempuan muslim Indonesia. “Sudah saatnya wanita tegas di hadapan teks yang dipelintir mereka yang berkepentingan dengan poligami,” tandasnya. Tabik!

masalah sosial kemiskinan diindonesia

KEMISKINAN DI INDONESIA 

Latar belakang masalah 
Masalah sosial adalah fenomena yang selalu muncul dalam kehidupan masyarakat. Kemiskinan adalah fenomena yang sangat urgen bagi Negara Indonesia. Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga macam konsep kemiskinan: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan subyektif. (Sunyoto Usman: 2006). Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedangkan miskin relatif dirumuskan berdasarkan the idea of relative standard, yaitu dengan memperhatikan dimensi tempat dan waktu. Asumsinya adalah kemiskinan suatu daerah berbeda dengan daerah lainnya dan kemiskinan pada waktu tertentu berbeda dengan waktu lainnya.

Dalam konteks lain Kemiskinan kolektif juga terjadi pada suatu daerah atau negara yang mengalami kekurangan pangan. Kebodohan dan eksploitasi manusia dinilai sebagai penyebab keadaan itu. Kemiskinan musiman atau periodik dapat terjadi manakala daya beli masyarakat menurun atau rendah . Misalnya sebagaimana, sekarang terjadi di negara kita Indonesia. Sedangkan, kemiskinan individu dapat terjadi pada setiap orang, terutama kaum cacat fisik atau mental, anak-anak yatim, kelompok lanjut usia 

1. Identifikasi dan Rumusan Masalah 
Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan modern pada masa kini mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan-kemudahan lainnya yang tersedia pada zaman modern. 
Kita ketahui bersama bahwa Negara kita Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya, tapi kemiskinan sampai dengan sekarang belum juga teratasi. 
Tidak sulit untuk kita mengenali kemiskinan dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kita. Kehidupan keluarga miskin, apalagi yang sangat miskin, terlihat berbeda dengan yang tidak miskin. Ciri yang menyolok adalah soal sandang dan papan mereka. Soal yang kadang tidak terlihat namun bisa dipastikan adalah ketidakcukupan pangan dan gizi. Soal kekurangan yang bisa diduga adalah lemahnya akses kepada layanan kesehatan dan pendidikan karena kesulitan dana. Sedangkan soal yang samar namun terasa adalah kondisi psikologis mereka yang sebagiannya sudah berevolusi menjadi sikap budaya sebagai orang miskin. 
Di Indonesia program-program penanggulangan kemiskinan sudah banyak pula dilaksanakan, seperti : pengembangan desa tertinggal, perbaikan kampung, gerakan terpadu pengentasan kemiskinan. Sekarang pemerintah menangani program tersebut secara menyeluruh, terutama sejak krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997, melalui program-program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Dalam JPS ini masyarakat sasaran ikut terlibat dalam berbagai kegiatan. dan akhir-akhir ini adanya jamkesmas (jaminan kesehatan masyarakat) dan askeskin (asuransi kesehatan miskin) tapi itu semua belum menjawab masalah kemiskinan.
Beradasarkan Angka resmi Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa angka kemiskinan di Indonesia sangat fluktuatif, pada tahun 1976 angka kemiskinan Indonesia berkisar 40 % dari jumlah penduduk, tahun 1996 angka kemiskinan Indonesia turun menjadi 11 % dari total penduduk. Pada saat krisis moneter melanda negeri ini pada tahun 1997/1998 penduduk miskin Indonesia mencapai 24 % dari jumlah penduduk atau hampir mencapai 40 juta jiwa. Tahun 2002 angka tersebut sudah mengalami penurunan menjadi 18 % dari total penduduk, memasuki tahun 2004 mengalami penurunan menjadi 14 %. Akan tetapi angka resmi BPS berdasarkan sensus kemiskinan tahun 2005 mencapai 35.1 juta jiwa atau 14,6 % dari jumlah penduduk. Susenas BPS 2006 mencatat penduduk miskin di Indonesia mencapai 39,05 juta jiwa. (Robi Cahyadi Kurniawan). 
Pada Juli 2008, pemerintah melalui BPS, kembali merilis tentang data kemiskinan terbaru. Pada Selasa, 1 Juli 2008, BPS mengumumkan jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2008, turun 2,21 juta orang dibandingkan kondisi Maret 2007. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin saat ini sebanyak 34,96 juta orang atau turun dibandingkan sebelumnya sebanyak 37.17 juta orang. Ada dua argumentasi yang diungkapkan BPS dalam rilis tersebut, seperti yang dilansir Harian Kompas, Edisi 2 Juli 2008.Pertama, penurunan angka kemiskinan terjadi di pedesaan yang disebabkan kestabilan harga beras dan kenaikan riil upah petani periode Maret 2007 - Maret 2008. Kedua, inflasi umum pada Maret 2008 terhadap Maret 2007 relatif stabil, yakni 8,17% dan rata-rata harga beras turun 3,01% pada periode yang sama. Analisis BPS diperkuat dengan data bahwa 63% penduduk miskin tinggal di desa dan sebagian besar bekerja di sektor pertanian. Tentu saja rillis terbaru pemerintah tersebut kembali menuai kritik. Dan, beberapa pengamat ekonomi, seperti Ekonom Hendri Saparini menyatakan yang dikutip Kompas, Edisi 2 Juli 2008 menggunakan beras sebagai barometer pengukur angka kemiskinan merupakan penyederhanaan persoalan. Walaupun ada program raskin (beras untuk keluarga miskin) dan bantuan langsung tunai guna menutupi kebutuhan 2.000 kalori per hari untuk konsumsi, tapi hal tersebut belum memperhitungkan kualitas hidup masyarakat. Dan jika diamati data kemiskinan yang dikeluarkan pemerintah untuk Maret 2008, saat itu harga BBM belum dinaikkan dan angka inflasi belum setinggi saat ini.
Berbagai patologi (penyakit) kemiskinan inilah yang menjadi masalah serius bangsa Indonesia, kebanggaan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar akan luntur apabila masalah ini tak segera diatasi. Sejatinya pemerintah Indonesia tidak berpangku tangan melihat situasi seperti ini, berbagai program penanggulangan kemiskinan sudah dilakukan. Program Pembinaan dan Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Program Tabungan dan Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat (Takesra-Kukesra), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) pada tahun 2006 telah mencakup 39.282 desa/kelurahan di 2.600 kecamatan, Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT). (Kompas, Edisi 2 Juli 2008). 
Akibat krisis, jumlah penduduk miskin diperkirakan semakin bertambah di negara kita ini, bahkan kita lihat bersama bahwa semakin berbondong-bondong masyarakat pedesaan menuju ibukota negara (Jakarta) untuk mengadu nasib, kendatipun harus tinggal dikolong jembatan. Setiap hari kita saksikan bersama distasiun televisi dimana para pedagang kaki lima banyak digusur alasannya karena merusak pemandangan kota. Dan itu juga bukan hanya di ibukota negara saja namun juga di povinsi seluruh Indonesia. Sekarang ada pertanyaan dari penulis sampai kapankah mereka harus lari dari kejaran satpol PP (pamong praja)?. Mungkinkah Pemilu 2009, menentukan nasib saudara-saudara kita, ini perlu jawaban yang penuh analisis. 
2. Analisis Hubungan Sebab Akibat 
Berdasarkan dari identifikasi diatas dapat penulis analisis bahwa ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan “alamiah” dan kemiskinan “buatan”. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan "buatan" terjadi karena lembaga-lembaga yang ada di masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, hingga mereka tetap miskin. Maka itulah sebabnya para pakar ekonomi sering mengkritik kebijakan pembangunan yang melulu terfokus pada pertumbuhan ketimbang pemerataan. 
Dalam analisis ini penulis juga kutip dari tulisan Awali Rizki tentang hasil pidato kenegaraan presiden tentang Komitmen resmi Program Kemiskinan dari Pemerintah : “Pemerintahan Presiden SBY sejak awal menyatakan komitmen untuk menurunkan angka kemiskinan menjadi 8,2 % pada tahun 2009”. Secara konsisten dalam berbagai kesempatan, komitmen ini diberi penekanan, seperti dalam Nota Keuangan, Pidato Kenegaraan, dan dokumen resmi lainnya. Sebagai implementasi, ada banyak program disertai kucuran dana yang telah dilaksanakan. (Awalil Rizki : 2008). Beragamnya pengertian kemiskinan tersebut seolah menyadarkan kita bahwa bangsa Indonesia ternyata miskin dari berbagai segi, tidak hanya miskin secara kapital, akan tetapi juga miskin secara sosial, politik, kualitas SDA (sumber daya alam), partisipasi bahkan kebebasan. 

3. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan 

Kesimpulan dari makalah ini adalah bahwa masalah kemiskinan hanya dapat diatasi dengan semakin meningkatkan utilitas dari warga negara (terutama dari kalangan miskin) melalui pembukaan segenap akses yang diperlukan agar produktifitas mereka semakin meningkat. Hal itu hanya dimungkinkan jika tersedia fasilitas yang memadai untuk tersedianya komunikasi interaktif dengan kelompok masyarakat miskin. 
Konsep utama yang dikembangkan dalam makalah ini mengajak untuk menjadikan masalah kemiskinan sebagai masalah yang bersifat sistemik, yang harus diselesaikan melalui dua pendekatan penting. Pendekatan pertama adalah memberdayakan orang miskin untuk kemudian menjadi kontributor penting dalam pertumbuhan ekonomi, dan menjadikan tugas tersebut tugas seluruh institusi pemerintahan dan bukan kompartemen pemerintahan tertentu saja. Khususnya pada tugas kolektif untuk memberikan akses pada terbentuknya forum-forum masyarakat miskin yang difasilitasi oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat dan memberdayakan forum-forum sejenis yang telah terbentuk. tugas tersebut tugas seluruh institusi pemerintahan dan bukan kompartemen pemerintahan tertentu saja. Khususnya pada tugas kolektif untuk memberikan akses pada terbentuknya forum-forum masyarakat miskin yang difasilitasi oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat
memberdayakan forum-forum sejenis yang telah terbentuk. Hal itu dapat diwujudkan jika tersedia suatu fasilitas interaksi komunikasi melalui ketersediaan forum yang memungkinkan adanya akses bagi masyarakat miskin untuk memperoleh pembelajaran agar dapat meningkatkan produktifitasnya sesuai dengan kondisi mereka masing-masing. 
. Untuk dapat mengakselerasi program-program mengatasi kemiskinanan diatas maka setidaknya diperlukan empat rekomendasi kebijakan : 
A. Sesuai dengan konsep dasar yang dikembangkan dalam makalah ini, maka rekomendasi kebijakan pertama diarahkan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dicapai dengan sinergi kebijakan yang mengakumulasi modal domestik, penanaman modal asing dan kebijakan investasi yang diarahkan pada aktifitas industri yang produktif. Program kerja yang dapat dilakukan antara lain: (1) mempercepat belanja negara yang dialokasikan pada sejumlah proyek infrastruktur dan memberdayakan usaha kecil menengah sektor-sektor produksi, (2) mendukung dan memfasilitasi gerakan nasional penanggulangan kemiskinan dan krisis BBM melalui rehabilitasi dan reboisasi 10 juta hektar lahan kritis dengan tanaman yang menghasilkan energi pengganti BBM kepada masyarakat luas, diantaranya umbi-umbian, tebu, kelapa sawit, dan sagu.
B. Rekomendasi kedua adalah kebijakan penguatan sistem pendidikan nasional yang berorientasi pada penciptaan lapangan kerja. Kebijakan pendidikan harus diintegrasikan dengan kebijakan yang mengatur industri, ketenagakerjaan dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tujuan dari rekomendasi kebijakan kedua ini adalah untuk mengkonversi individu miskin menjadi para wirausaha yang produktif. Selain itu kebijakan ini juga ditujukan untuk terus meningkatkan ketrampilan dari para individu miskin melalui peningkatan kapasitas pengetahuan yang dimilikinya
Bentuk program kerja yang dapat dilakukan antara lain: keberadaan kredit mikro bagi para individu miskin yang dirancang dengan skema yang sedemikian sehingga memacu produktifitas dan daya saing dari individu miskin tersebut. Program ini dilakukan dengan koordinasi Bank Indonesia melalui berbagai program keuangan mikro (microfinance) bersama bank-bank daerah seperti: Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
C. Rekomendasi ketiga adalah kebijakan yang mengatur pembangunan suatu kelembagaan perlindungan sosial bagi warga negara. Rekomendasi ini diarahkan akan terbangunnya suatu sistem yang melindungi kelompok miskin tertentu dimasyarakat yang tidak memiliki sejumlah keterbatasan dalam akses ke lapangan kerja, seperti misalnya orang cacat dan lanjut usia. Selain itu, kebijakan ini juga menjamin adanya jaminan sosial bagi warga negara ketika terjadi ketegangan ekonomi yang luar biasa. Bentuk program kerjanya antara lain adalah jaminan asuransi, jaminan penanganan khusus untuk pemberikan kredit bagi para cacat untuk wira usaha dan regulasi lainnya terkait dengan upah minimum dan fasilitas minimum bagi para pekerja.
D. Rekomendasi keempat adalah kebijakan yang memungkinkan adanya akses untuk menyuarakan aspirasi dan pendapat dari kalangan miskin. Kebijakan ini diarahkan agar memungkinkan adanya dialog atau komunikasi dua arah antara pemerintah dan kelompok masyarakat miskin, dengan cara ini maka dapat diupayakan adanya pemahaman yang lebih baik antara kedua pihak, yang berlanjut pada penanganan masalah kemiskinan yang lebih efektif. Rekomendasi yang keempat ini cukup penting, karena kurang efektifnya sejumlah solusi masalah kemiskinan dimasa lalu adalah sehubungan belum berfungsinya dengan efektif sebuah mekanisme komunikasi interaktif yang optimal yang sanggup mentransmisikan kepentingan masyarakat miskin kedalam suatu tatanan program yang produktif. Sehingga masyarakat miskin sering masih dianggap sebagai beban dalam suatu sistem ekonomi, adapun konsepsi dasar yang dikembangkan dalam makalah ini adalah bagaimana merubah total posisi masyarakat miskin yang tadinya sebatas beban dalam sistem ekonomi tersebut, menjadi kontributor dalam pertumbuhan ekonomi, khususnya melalui perannya yang semakin aktif dalam penciptaan lapangan kerja melalui kewirausahaan (entrepreneurships).

masalah sosial

MASALAH SOSIAL KEMISKINAN:



Saat ini banyak sekali permasalahan kasus-kasus sosial yang terjadi disekeliling kita.Sebagai manusia biasa yang memiliki hati nurani,kita tidak bisa menghindar begitu saja darimasalah sosial yang muncul disekitar kita.
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dimiliki seperti makanan,minuman,pakaian,tempat berlindung hal-hal ini berhubugan erat dengan kualitas hidup.Menurut data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas),angka kemiskinan Indonesia pada 2008 mencapai 37,17 juta dan di 2009 mencapai 33,714 juta.Jika dilihat dari data,angka kemiskinan diperkirakan turun sekitar 4 jutaan.Walaupun mengalami penurunan,tetap saja saat ini masih banyak orang miskin dan orang tidak mampu di Indonesia.

Kemiskinan saat ini memang merupakan suatu kendala dalam masyarakat ataupun dalam ruanglingkup yang lebih luas.Kemiskinan menjadi masalah sosial karena ketika kemiskinan mulai merabah atau bertambah banyak maka angka kriminalitas yang ada akan meningkat.Pusaran arus besar pemikiran sekitar kita saat ini menerjemahkan kemiskinan sebagai pangkal penyebab masalah sosial dan ekonomi.Bersumber konstruksi ini,penanganan pengurangan orang miskin berpotensi bersilang jalan.Pada satu kutub kemiskinan diatasi lewat pemberdayaan atau mengasumsikan potensi inheren orang miskin.Kemiskinan menjadi masalah sosial ketika stratifikasi dalam masyarakat sudah menciptakan tingkatan atau garis-garis pembatas.Sehingga ada kejanggalan dalam interaksi antara orang yang berada di tingkatan yang dibawah dan diatasnya.

Kemiskinan juga sangat berpengaruh terhadap lingkungan hidup yang akhirnya akan merusak lingkungan itu sendiri.Penduduk miskin yang terdesak akan mencari lahan-lahan kritis dan lahan-lahan koservasi sebagai tempat pemukiman.Lahan-lahan yang seharusnya berfungsi sebagai kawasan penyangga atau mempunyai fungsi konservasi tersebut akan kehilangan fungsi lingkungannya setelah dimanfaatkan untuk kawasan pemukiman.Akibat berikutnya,maka akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan lingkungan.

Kedua,lapangan pekerjaan,penduduk miskin tanpa mata pencaharianakan memanfaatkan lingkungan sekitar,sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhannya tanpa mempertimbangkan kaidah-kaidah ekologis yang berlaku.Karena desakan ekonomi,banyak penduduk yang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memasuki kawasan-kawasan yang sebenarnya dilindungi,apabila tidak dicegah dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama menyebabkan kawasan lindung akan berkurang bahkan hilang sama sekali,yang berdampakpada hilangnya fungsi lingkungan(sebagai pemberi jasa lingkungan).
 
http://mochammad-ifnu.blogspot.com
 

Senin, 10 Oktober 2011

poligami di amerika ? knp tidak ?

Ternyata, di Amerika Serikat, ada orang yg mempraktikkan poligami, bahkan dengan argumentasi dan latar belakang yg ‘meyakinkan’ dan bisa membuat kita terperangah. Berikut penuturan kisahnya yang diceritakan oleh M. Syamsi Ali, yang juga  imam Masjid Islamic Cultural Center of New York. Syamsi adalah penulis rubrik “Kabar Dari New York” di hidayatullah.com.
“I am a Second Wife”
Masa SMU wanita Amerika itu hancur tatkala dirinya hamil diusia 17 tahun. Ia terpaksa menjadi ’single mother’ diusia muda. Namun hidupnya merasa nyaman setelah menjadi istri kedua seorang pria Muslim.
Sekitar tiga bulan lalu, the Islamic Forum yang diadakan setiap Sabtu di Islamic Center New York kedatangan peserta baru. Pertama kali memasuki ruangan itu saya sangka wanita Bosnia. Dengan pakaian Muslimah yang sangat rapih, blue eyes, dan kulit putih bersih. Pembawaannya pun sangat pemalu, dan seolah seseorang yang telah lama paham etika Islam.
Huda, demikianlah wanita belia itu memanggil dirinya. Menurutnya, baru saja pindah ke New York dari Michigan ikut suami yang berkebangsaan Yaman. Suaminya bekerja pada sebuah perusahaan mainan anak-anak (toys).
Tak ada menyangka bahwa wanita itu baru masuk Islam sekitar 7 bulan silam. Huda, yang bernama Amerika Bridget Clarkson itu, adalah mantan pekerja biasa sebagai kasir di salah satu tokoh di Michigan. Di toko inilah dia pertama kali mengenal nama Islam dan Muslim.
Biasanya ketika saya menerima murid baru untuk bergabung pada kelas untuk new reverts, saya tanyakan proses masuk Islamnya, menguji tingkatan pemahaman agamanya, dll. Ketika saya tanyakan ke Huda bagaimana proses masuk Islamnya, dia menjawab dengan istilah-istilah yang hampir tidak menunjukkan bahwa dia baru masuk Islam. Kata-kata “alhamdulillah”.”Masya Allah” dst, meluncur lancar dari bibirmya.
Dengan berlinang air mata, tanda kebahagiaannya, Huda menceritakan proses dia mengenal Islam.“I was really trapped by jaahiliyah (kejahilan)”, mengenang masa lalunya sebagai gadis Amerika. “I did not even finish my High School and got pregnant when I wan only 17 years old”, katanya dengan suara lirih. Menurutnya lagi, demi mengidupi anaknya sebagai ‘a single mother’ dia harus bekerja. Pekerjaan yang bisa menerima dia hanyalah grocery kecil di pinggiran kota Michigan.
Suatu ketika, toko tempatnya bekerja kedatangan costumer yang spesial. Menurutnya, pria itu sopan dan menunjukkan ‘respek’ kepadanya sebagai kasir. Padahal, biasanya, menurut pengalaman, sebagai wanita muda yang manis, setiap kali melayani pria, pasti digoda atau menerima kata-kata yang tidak pantas. Hingga suatu ketika, dia sendiri berinisiatif bertanya kepada costumernya ini, siapa namanya dan tinggal di mana.
Mendengar namanya yang asing, Abdu Tawwab, Huda semakin bingung. Sebab nama ini sendiri belum pernah didengar.
Sejak itu pula setiap pria ini datang ke tokonya, pasti disempatkan bertanya lebih jauh kepadanya, seperti kerja di mana, apa tinggal dengan keluarga, dan lainnya.
Perkenalannya dengan pria itu ternyata semakin dekat, dan pria itu juga semakin baik kepadanya dengan membawakan apa yang dia sebut ‘reading materials as a gift”. Huda mengaku, pria itu memberi berbagai buku-buku kecil (booklets).
Dan hanya dalam masa sekitar tiga bulan ia mempelajari Islam, termasuk berdiskusi dengan pria tersebut. Huda merasa bahwa inilah agama yang akan menyelamatkannya.
“Pria tersebut bersama isterinya, yang ternyata telah mempunyai 4 orang anak, mengantar saya ke Islamic Center terdekat di Michigan. Imam Islamic Center itu menuntun saya menjadi seorang Muslimah, alhamdulillah!”, kenang Huda dengan muka yang ceria.
Tapi untuk minggu-minggu selanjutnya, kata Huda, ia tidak komunikasi dengan pria tersebut. Huda mengaku justeru lebih dekat dengan isteri dan anak-anaknya. Kebetulan lagi, anaknya juga berusia tiga tahun, maka sering pulalah mereka bermain bersama. “Saya sendiri belajar shalat, dan ilmu-ilmu dasar mengenai Islam dari Sister Shaima, nama isteri pria yang mengenalkannya pada Islam itu.
Kejamnya Poligami
Sementara itu di suatu hari, dalam acara The Islamic Forum, minggu lalu, datang seorang tamu dari Bulgaria. Wanita dengan bahasa Inggris seadanya itu mempertanyakan keras tentang konsep poligami dalam Islam. Bahkan sebelum mendapatkan jawaban, perempuan ini sudah menjatuhkan vonis bahwa “Islam tidak menghargai sama sekali kaum wanita”, katanya bersemangat.
Huda, yang biasanya duduk diam dan lebih banyak menunduk, tiba-tiba angkat tangan dan meminta untuk berbicara. Saya cukup terkejut. Selama ini, Huda tidak akan pernah menyela pembicaraan apalagi terlibat dalam sebuah dialog yang serius. Saya hanya biasa berfikir kalau Huda ini sangat terpengaruh oleh etike Timur Tengah, di mana kaum wanita selalu menunduk ketika berpapasan dengan lawan jenis, termasuk dengan gurunya sendiri.
“I am sorry Imam Shamsi”, dia memulai. “I am bothered enough with this woman’s accusation”, katanya dengan suara agak meninggi. Saya segera menyelah: “What bothers you, sister?”. Dia kemudian menjelaskan panjang lebar kisah hidupnya, sejak masa kanak-kanak, remaja, hingga kemudian hamil di luar nikah, bahkan hingga kini tidak tahu siapa ayah dari anak lelakinya yang kini berumur hampir 4 tahun itu.
Tapi yang sangat mengejutkan saya dan banyak peserta diskusi hari itu adalah ketika mengatakan: “I am a second wife.” Bahkan dengan semangat dia menjelaskan, betapa dia jauh lebih bahagia dengan suaminya sekarang ini, walau suaminya itu masih berstatus suami wanita lain dengan 4 anak. “I am happier since then“, katanya mantap.
Dia seolah berda’wah kepada wanita Bulgaria tadi: “Don’t you see what happens to the western women around? You are strongly opposing polygamy, which is halaal, while keeping silence to free sex that has destroyed our people” ,jelasnya. Saya kemudian menyela dan menjelaskan kata “halal” kepada wanita Bulgaria itu.
“I know, people may say, I have a half of my husband. But that’s not true“, katanya. Lebih jauh dia menjelaskan bahwa poligami bukan hanya masalah suami dan isteri. Poligami dan kehidupan keluarga menurutnya, adalah masalah kemasyarakatan. Dan jika seorang isteri rela suaminya beristeri lagi demi kemaslahatan masyarakat, maka itu adalah bagian dari pengorbananya bagi kepentingan masyarakat dan agama.
Kami yang dari tadi mendengarkan penjelasan Huda itu hanya ternganga. Hampir tidak yakin bahwa Huda adalah isteri kedua, dan juga hampir tidak yakin kalau Huda yang pendiam selama ini ternyata memiliki pemahaman agama yang dalam.
Saya kemudian bertanya kepada Huda: “So who is your husband?” Dengan tertawa kecil dia menjawab “the person who introduced me to Islam”.Dan lebih mengejutkan lagi: “his wife basically suggested us to marry”, menutup pembicaraan hari itu.
Diskusi Islamic Forum hari itu kita akhiri dengan penuh bisik-bisik. Ada yang setuju, tapi ada pula yang cukup sinis. Yang pasti, satu lagi rahasia terbuka. Saya sendiri hingga hari ini belum pernah ketemu dengan suami Huda karena menurutnya, “he is a shy person. He came to the Center but did not want to talk to you”, kata Huda ketika saya menyatakan keinginan untuk ketemu suaminya.
“Huda, may Allah bless you and your family. Be strong, many challenges lay ahead in front of you”, masehatku. Doa kami menyertaimu Huda, semoga dikuatkan dan dimudahkan!


http://www.vivaborneo.com/poligami-di-amerika-serikat-kenapa-tidak.htm#more-218

kemiskinan 2



Kemiskinan dalam perspektif ekonomi, didefiniskan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan. Sumber daya dalam konteks ini tidak hanya aspek finansial, melainkan semua jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan dalam arti luas. Kemiskinan ini menggunakan indikator yang sifatnya materi seperti kepemilikan harta benda, income perkapita, maupun konsumsi sebagaimana Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan indikator konsumsi sebesar 21,00 kalori/ orang setiap hari yang disetarakan dengan pendapatan tertentu, atau pendekatan Bank Dunia yang menggunakan standar 1 dolar AS/ orang setiap hari. Contoh kemiskinan ini adalah tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan beserta akses lain, seperti kesehatan, pekerjaan maupun pendidikan.
Kemiskinan dalam perspektif kesejahteraan sosial  mengarah  pada keterbatasan individu atau kelompok dalam mengakses jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Faktor penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal, dalam hal ini bersumber dari si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan dan adanya hambatan budaya. Sedangkan faktor eksternal berasal dari luar kemampuan sesorang tersebut, seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang menghambat seseorang mendapatkan sumber daya. Secara sederhana kemiskinan dalam persepektif ilmu kesejahteraan sosial dimaknai sebagai kemiskinan yang pada awalnya disebabkan oleh kemiskinan ekonomi, kemudian dikarenakan terlalu lama dalam kondisi tersebut baik karena faktor tidak disengaja, disengaja maupun karena dipelihara menyebabkan efek domino yaitu tumbuhnya patologi atau masalah-masalah sosial. Sedangkan resiko ketika kemiskinan sudah menjadi masalah sosial adalah selain harus menyelesaikan masalah ekonomi itu sendiri juga mengatasi masalah sosial yang timbul. Contohnya adalah: munculnya kriminalitas, budaya malas, korupsi, disparitas sosial yang menyebabkan konflik, dan ketergantungan pada pihak lain.
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang muncul bukan karena ketidakmampuan si miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja. Struktur sosial tersebut tidak mampu menguhubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang tersedia, baik yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun masyarakat yang ada disekitarnya. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini adalah buruh tani, pemulung, penggali pasir dan mereka yang tidak terpelajar dan tidak terlatih. Pihak yang berperan besar dari terciptanya kemiskinan struktural ini adalah pemerintah, karena pemerintah yang memiliki kekuasaan dan kebijakan cenderung membiarkan masyarakat dalam kondisi miskin, tidak mengeluarkan kebijakan yang pro masyarakat miskin, jikapun ada lebih berorientasi pada proyek, bukan pada pembangunan kesejahteraan. Sehingga tidak ada masyarakat miskin yang ‘naik kelas’, artinya jika pada awalanya buruh, nelayan, pemulung maka selamanya menjadi buruh nelayan dan pemulung, karena tidak ada upaya dalam menaikan derajat dan kemampuan mereka baik itu dalam kesempatan pendidikan atau pelatihan.
Sedangkan kebudayaan kemiskinan, merupakan kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Dalam komunitas lokal ditemui ada rumah yang bobrok, penuh sesak dan bergerombol. Ditingkat keluarga, masa kanak-kanak cenderung singkat, cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu mereka ada perasaan tidak berharga, tidak berdaya dan rendah diri akut.
Pandangan lain tentang budaya kemiskinan adalah, bahwa kebudayaan kemiskinan merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan struktural yang menghinggap masyarakat terlalu lama, sehingga membuat masyarakat apatis, pasrah, berpandangan jika sesuatu yang terjadi adalah takdir, dalam konteks keagamaan disebut dengan paham Jabariah, terlebih paham ini disebarkan dan di doktrinasikan dalam mimbar agama. Contoh kemiskinan ini ada pada masyarakat pedesaan, komunitas kepercayaan atau agama, dan kalangan marginal lainnya.
Dalam konteks kemiskinan di Indonesia, jika ditinjauan dari makalah Masalah-Masalah Kemiskinan, secara tidak langsung menunjukkan adanya keterkaitan antara kemiskinan struktural dengan kemiskinan kultural, terlebih status indonesia selain sebagai negara berkembang, juga mengalami proses sejarah penjajahan yang amat panjang, kurang lebih 350 tahun. Dimulai dari pemerintah kolonial belanda yang menanamkan komersialisasi pertanian dalam bentuk perpajakan, pembukaan lahan baru dan membuka jalan raya, yang justru dampaknya adalah merosotnya kesejahteraan petani, memperkaya mereka yang memiliki modal besar yaitu elit-elit ekonomi desa. Pasca penjajahan belanda, pemerintah orde lama fokus pada pembangunan aspek politik, proses pengintegrasian wilayah jajahan belanda kedalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada fase ini kondisi perekonomian negara jauh dari stabil, penanganan masalah kemiskinan belum menjadi prioritas. Masyarakat tidak beranjak dari situasi miskin karena secara struktural tidak terprioritaskan.

Pada saat pemerintahan orde baru, kebijakan politik mulai terarahkan pada usaha mengatasi kemiskinan, melalui jalan melakukan pinjaman dana kepada lembaga luar negeri yaitu IGGI yang kemudian berganti nama menjadi CGI. Namun dampak dari kebijakan ini bukan malah menghapus masalah kemiskinan, melainkan menciptakan kemiskinan babak baru, dimana tumbuhnya industrialisasi di desa-desa dalam wujud eksploitasi seperti: pertambangan, penebangan hutan, pembangunan pertanian tanaman industri dan sebagainya, yang pada akhirnya semakin menumbuhkan disparitas sosial yang semakin akut, dan tidak merubah kehidupan masyarakat miskin dan malah memperkaya mereka yang sudah kaya.
Oleh karena itu dilihat dari perjalanan kemiskinan diatas, dalam konteks ke-Indonesiaan, Kemiskinan kultural merupakan buah dari kemiskinan struktural, masyarakat terbentuk menjadi fatalis, semakin pasrah, menganggap miskin sebagai nasib dan garis hidup, selain juga sering diperkual dalam mimbar-mimbar agama, mengenai pemahaman keliru mengenai takdir untuk selalu bersabar dan bersyukur, sebagaimana ajaran faham jabariyah, agar masyarakat tetap bersabar menerima ‘takdir’ yang ada.
Jika dilihat dari argumentasi diatas mayoritas kemiskinan yang hadir saat ini merupakan dominasi kemiskinan struktural, tidak ada proses transformasi kelas dimana buruh tani tetaplah menjadi buruh tani, begitu pula nelayan, pemulung, dan lain-lain. Jikapun ada program penanggulangan kemiskinan sifatnya residual, proyek, insidental, tidak berkelanjutan dan tidak mengena pada substansi atau menyentuh akar dari kemiskinan.
~~
Akses kesehatan dan pendidikan sangat berperan untuk memutus mata rantai kemiskinan, jadi masyarakat miskin seharusnya diberi kemudahan untuk mengakses kedua faktor tersebut, bersyukur sekarang ini sudah banyak program pemerintah yang terfokus pada penyedia akses pelayan kesehatan dan pendidikan untuk orang miskin, seperti Jamkesmas & BSM , semoga saya mulai dari sekarang  banyak program-program  yg di jalan kan pemerintrah dan pihak-pihak sosial dalam memanggulangi masalah kemiskinan 



http://rahmatullah.banten-institute.org/2010/04/kemiskinan-kultural-buah-dari.html

Kemiskinan

Penduduk dan pembangunan saling bertemali erat secara timbal-balik. Pertalian penduduk dan pembangunan dapat dilihat dalam konteks ekonomi, terkait dengan agregat produksi dan konsumsi sumber daya.

Pertumbuhan penduduk yang cepat dan jumlah yang makin besar akan menggerus sumber yang tersedia. Jumlah penduduk yang terus meningkat menuntut ketersediaan sumber daya secara memadai dan berkelanjutan. Bila sumber daya tak mencukupi untuk dikonsumsi, hal itu akan melahirkan kelangkaan yang mengarah pada perebutan sumber daya di antara penduduk yang dapat memicu konflik.

Berbagai kalangan telah mengingatkan bahaya pertumbuhan penduduk yang tak terkendali. Sampai 2010, penduduk Indonesia sudah berjumlah 238 juta dan pada 2025 nanti diprediksi akan mencapai 273,2 juta. Ledakan penduduk jelas menjadi ancaman serius yang amat mencemaskan.

Ancaman paling nyata adalah kian meningkatnya kemiskinan, terutama bila laju pertumbuhan penduduk tidak dibarengi kemampuan menyediakan kebutuhan dasar: pangan, sandang, papan. Logika pemikiran ini sangat dipengaruhi mazhab Malthusian yang berhipotesis bahwa pertumbuhan penduduk bergerak secara eksponensial (cepat), sementara sumber daya pendukung, terutama pasokan kebutuhan dasar,bergerak secara aritmetikal (lambat).

Hipotesis lanjutan Malthus dapat diringkas dalam rumusan berikut: pertumbuhan penduduk berkorelasi positif dengan pendapatan per kapita. Namun, pertumbuhan penduduk pada akhirnya akan menurunkan pendapatan sehingga tidak semua orang memperoleh bagian kekayaan secara merata.

Selain itu, penduduk yang berjumlah besar niscaya mengonsumsi sumber daya yang besar pula,padahal daya dukung sumber daya terbatas sehingga penduduk akan terjebak pada perangkap kemiskinan. Pertumbuhan penduduk yang tak terkendali merupakan pangkal utama kemiskinan.

Orang terjerat kemiskinan karena punya keluarga berukuran besar tanpa daya dukung ekonomi yang kuat untuk menopangnya. Karena itu,pembatasan jumlah anak untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk mutlak dilakukan.

Maksimalkan Potensi

Namun, hipotesis Malthus ini kemudian disanggah oleh banyak ilmuwan, terutama para ahli ekonomi dan demografi. Pokok kritik mereka bertumpu pada penilaian bahwa Malthus hanya melihat penduduk sebagai faktor tunggal kemiskinan dan cenderung mengabaikan banyak faktor determinan yang lain.

Kemiskinan bersifat multidimensional yang tak bisa dijelaskan hanya dengan menggunakan pendekatan the Malthusian calculus semata. Para penyangga argumen Malthus ini merujuk pandangan Karl Marx yang mengatakan bahwa penduduk adalah kekuatan produksi sekaligus konsumsi.

Penduduk punya kemampuan menciptakan kekayaan dan memproduksi sumber daya, bahkan melampaui kebutuhan konsumsi untuk diri sendiri. Penduduk yang terus tumbuh memang akan mengonsumsi sumber daya. Namun,penting dicatat,pertumbuhan per kapita dalam hal produksi melampaui pertumbuhan per kapita dalam hal konsumsi.

Salah seorang kritikus, Karl Persson,menulis: the fears that Malthus expressed seem to be utterly misplaced.World population has increased by a factor of six, world food production by a factor of ten, and still not all land fit for agriculture is currently being used (An Economic History of Europe: Knowledge, Institutions, and Growth, Cambridge, 2010).

Bahkan pemikir beraliran neoliberal seperti Julian Simon tiga dekade silam juga telah menyanggah argumen Malthus dalam Population: The Ultimate Resource (1981) yang memicu polemik hangat di kalangan para sarjana dan akademisi dunia.Berbeda dari pandangan Malthus yang menyebut penduduk sebagai konsumen yang memerlukan pasokan sumber daya, Simon berargumen bahwa penduduk itu sendiri adalah sumber daya,punya daya cipta, dan dengan kelengkapan fisik serta pikiran yang sempurna mampu bekerja, mengelola, bahkan menciptakan sumber daya baru.

Agar penduduk dapat berfungsi menjadi kekuatan utama dalam menggerakkan pembangunan ekonomi dan memacu produktivitas nasional, negara harus berinvestasi untuk mengembangkan sumber daya insani, terutama melalui pendidikan dan kesehatan.

Investasi diperlukan untuk pengembangan keahlian teknis dan penguasaan teknologi sehingga potensi penduduk menjadi optimal untuk berproduksi dan tidak mengonsumsi sumber daya semata.Simon berpandangan bahwa peran penduduk dalam proses produksi jauh lebih besar dan menentukan dibandingkan dengan peran mereka sebagai konsumen.

Distribusi Pendapatan

Para kritikus melawan argumen Malthus dengan keyakinan bahwa sejatinya bukan pertumbuhan penduduk yang menjadi pangkal kemiskinan, melainkan ketidakadilan dalam distribusi pendapatan. Kemiskinan adalah produk pembangunan yang terkait dengan pilihan kebijakan ekonomi yang diterapkan di suatu negara. Saksikan, di banyak negara kebijakan pembangunan ekonomi lebih berorientasi pada ekonomi kapitalis yang cenderung menciptakan ketidakadilan sosial.

Maka, klaim bahwa jumlah penduduk besar menjadi sumber utama kemiskinan jelas mengabaikan fakta betapa sebaran kemiskinan dan ketidakmerataan kekayaan secara geografis dan kelompok sosial lebih berkaitan dengan sifat dan struktur ekonomi kapitalis yang eksploitatif, dominatif, dan hegemonik, bukan ukuran dan tingkat pertumbuhan penduduk.

Sungguh, masalah ketidakadilan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan menjadi gejala umum yang kerap dijumpai di berbagai belahan bumi, terutama di negaranegara sedang berkembang, termasuk Indonesia.Menurut Duncan Green, ketidakadilan distribusi pendapatan dalam skala global sungguh mencengangkan dan memilukan hati.

Pendapatan 500 orang paling kaya (miliarder) di dunia melampaui pendapatan 416 juta orang paling miskin! Di negara-negara sedang berkembang, setiap menit dalam sehari satu perempuan meninggal saat melahirkan atau hamil yang tak mendapat pertolongan medis dan 20 anak meninggal akibat aneka penyakit: malaria, diare.

Di negaranegara miskin terdapat 800 juta orang menderita kelaparan, sementara di negara-negara kaya jutaan orang mengidap obesitas karena makan berlebihan (lihat From Poverty to Power, Oxford,2008). Seperti umumnya negara-negara sedang berkembang, Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat ketimpangan pendapatan paling tinggi di antara kelompok masyarakat kayamiskin.

Kesenjangan sosial ekonomi antarlapisan penduduk demikian mencolok yang kian menegaskan ancaman kemiskinan bilamana penduduk tumbuh tak terkendali.Dengan tetap memandang penting untuk melakukan pengendalian pertumbuhan penduduk, sesuatu yang fundamental penting pula dilakukan: menggeser orientasi pembangunan dan mengubah pilihan kebijakan ekonomi.

Para kritikus menilai bahwa sumber utama kesenjangan sosial di Indonesia adalah kebijakan ekonomi yang berbasis pasar bebas—penjelmaan ideologi kapitalis neoliberal. Bila kebijakan ekonomi kapitalis yang menggeruskeadilanterusdipertahankan, laju pertumbuhan penduduk memang hanya akan mempercepat peningkatan kemiskinan belaka.● AMICH ALHUMAMI Peneliti Sosial di Department of Anthropology, University of Sussex, United Kingdom




Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/404657/

Senin, 26 September 2011

Masalah Sosial Remaja Indonesia

Dalam topik ini penulis mengangkat beberapa masalah yang terjadi di lingkungan remaja Indonesia, yaitu :

Kurang tertanamnya prinsip-prinsip yang jelas dan terarah pada remaja indonesia.

Alasan kenapa saya  mengambil topik tersebut adalah banyaknya remaja indonesia yang masih kurang cepat tanggap tentang apa yang akan mereka putuskan untuk menjalani kehidupannya, bukan berarti penulis sudah menjalankan apa yang penulis tulis. Penulispun masih dalam tahap pembelajaran untuk menjalani topik tersebut.
Disini penulis ingin mencurahkan permasalahan yang menjadi momok remaja indonesia, boleh dibilang yang membuat prinsip remaja Indonesia yang kurang terarah adalah adanya pengaruh globalisasi entah dari sisi internal maupun eksternal. Disini remaja Indonesia mendapat cobaan untuk menentukan apa yang akan mereka jalani, atau boleh di bilang ingin melewati jalan yang lurus atau berkelok-kelok dan arahnya pun berbeda, entah ke kanan atau ke kiri. pengaruh globalisasi tentu tidak sepenuhnya disalahkan, karena kurangnya prinsip remaja indonesia yang kurang terarah tentu masih banyak pengaruh-pengaruh lain yang mempengaruhinya, seperti kurangnya pendidikkan yang diberikan orang tua mereka dahulunya, kurangnya pengetahuan ilmu akhlak yang mereka miliki, ataupun faktor tempat lingkungan hidup mereka tumbuh besar. Itu semua dapat mempengaruhi akan jadi apa mereka remaja nanti. Karna itu marilah bekali remaja-remaja Indonesia mulai dini, agar menjadi penerus bangsa yang sangat membanggakan untuk nasional maupun internasional.