Kemiskinan
 dalam perspektif ekonomi, didefiniskan sebagai kekurangan sumber daya 
yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan 
kesejahteraan. Sumber daya dalam konteks ini tidak hanya aspek 
finansial, melainkan semua jenis kekayaan yang dapat meningkatkan 
kesejahteraan dalam arti luas. Kemiskinan ini menggunakan indikator yang
 sifatnya materi seperti kepemilikan harta benda, income perkapita, 
maupun konsumsi sebagaimana Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan 
indikator konsumsi sebesar 21,00 kalori/ orang setiap hari yang 
disetarakan dengan pendapatan tertentu, atau pendekatan Bank Dunia yang 
menggunakan standar 1 dolar AS/ orang setiap hari. Contoh kemiskinan ini
 adalah tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, 
papan beserta akses lain, seperti kesehatan, pekerjaan maupun 
pendidikan.
Kemiskinan
 dalam perspektif kesejahteraan sosial  mengarah  pada keterbatasan 
individu atau kelompok dalam mengakses jaringan dan struktur sosial yang
 mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan 
produktivitas. Faktor penghambat tersebut secara umum meliputi faktor 
internal, dalam hal ini bersumber dari si miskin itu sendiri, seperti 
rendahnya pendidikan dan adanya hambatan budaya. Sedangkan faktor 
eksternal berasal dari luar kemampuan sesorang tersebut, seperti 
birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang menghambat seseorang 
mendapatkan sumber daya. Secara sederhana kemiskinan dalam persepektif 
ilmu kesejahteraan sosial dimaknai sebagai kemiskinan yang pada awalnya 
disebabkan oleh kemiskinan ekonomi, kemudian dikarenakan terlalu lama 
dalam kondisi tersebut baik karena faktor tidak disengaja, disengaja 
maupun karena dipelihara menyebabkan efek domino yaitu tumbuhnya 
patologi atau masalah-masalah sosial. Sedangkan resiko ketika kemiskinan
 sudah menjadi masalah sosial adalah selain harus menyelesaikan masalah 
ekonomi itu sendiri juga mengatasi masalah sosial yang timbul. Contohnya
 adalah: munculnya kriminalitas, budaya malas, korupsi, disparitas 
sosial yang menyebabkan konflik, dan ketergantungan pada pihak lain.
Kemiskinan
 struktural adalah kemiskinan yang muncul bukan karena ketidakmampuan si
 miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem 
dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang 
memungkinkan si miskin dapat bekerja. Struktur sosial tersebut tidak 
mampu menguhubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang tersedia, baik
 yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun masyarakat yang ada 
disekitarnya. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini adalah buruh 
tani, pemulung, penggali pasir dan mereka yang tidak terpelajar dan 
tidak terlatih. Pihak yang berperan besar dari terciptanya kemiskinan 
struktural ini adalah pemerintah, karena pemerintah yang memiliki 
kekuasaan dan kebijakan cenderung membiarkan masyarakat dalam kondisi 
miskin, tidak mengeluarkan kebijakan yang pro masyarakat miskin, jikapun
 ada lebih berorientasi pada proyek, bukan pada pembangunan 
kesejahteraan. Sehingga tidak ada masyarakat miskin yang ‘naik kelas’, 
artinya jika pada awalanya buruh, nelayan, pemulung maka selamanya 
menjadi buruh nelayan dan pemulung, karena tidak ada upaya dalam 
menaikan derajat dan kemampuan mereka baik itu dalam kesempatan 
pendidikan atau pelatihan.
Sedangkan
 kebudayaan kemiskinan, merupakan kemiskinan yang muncul sebagai akibat 
adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, 
seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan
 sebagainya. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat 
enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap 
apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Dalam komunitas 
lokal ditemui ada rumah yang bobrok, penuh sesak dan bergerombol. 
Ditingkat keluarga, masa kanak-kanak cenderung singkat, cepat dewasa, 
cepat menikah. Pada individu mereka ada perasaan tidak berharga, tidak 
berdaya dan rendah diri akut. 
Pandangan
 lain tentang budaya kemiskinan adalah, bahwa kebudayaan kemiskinan 
merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan struktural yang 
menghinggap masyarakat terlalu lama, sehingga membuat masyarakat apatis,
 pasrah, berpandangan jika sesuatu yang terjadi adalah takdir, dalam 
konteks keagamaan disebut dengan paham Jabariah, terlebih paham 
ini disebarkan dan di doktrinasikan dalam mimbar agama. Contoh 
kemiskinan ini ada pada masyarakat pedesaan, komunitas kepercayaan atau 
agama, dan kalangan marginal lainnya.
Dalam
 konteks kemiskinan di Indonesia, jika ditinjauan dari makalah 
Masalah-Masalah Kemiskinan, secara tidak langsung menunjukkan adanya 
keterkaitan antara kemiskinan struktural dengan kemiskinan kultural, 
terlebih status indonesia selain sebagai negara berkembang, juga 
mengalami proses sejarah penjajahan yang amat panjang, kurang lebih 350 
tahun. Dimulai dari pemerintah kolonial belanda yang menanamkan 
komersialisasi pertanian dalam bentuk perpajakan, pembukaan lahan baru 
dan membuka jalan raya, yang justru dampaknya adalah merosotnya 
kesejahteraan petani, memperkaya mereka yang memiliki modal besar yaitu 
elit-elit ekonomi desa. Pasca penjajahan belanda, pemerintah orde lama 
fokus pada pembangunan aspek politik, proses pengintegrasian wilayah 
jajahan belanda kedalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia 
(NKRI). Pada fase ini kondisi perekonomian negara jauh dari stabil, 
penanganan masalah kemiskinan belum menjadi prioritas. Masyarakat tidak 
beranjak dari situasi miskin karena secara struktural tidak 
terprioritaskan.
Pada
 saat pemerintahan orde baru, kebijakan politik mulai terarahkan pada 
usaha mengatasi kemiskinan, melalui jalan melakukan pinjaman dana kepada
 lembaga luar negeri yaitu IGGI yang kemudian berganti nama menjadi CGI.
 Namun dampak dari kebijakan ini bukan malah menghapus masalah 
kemiskinan, melainkan menciptakan kemiskinan babak baru, dimana 
tumbuhnya industrialisasi di desa-desa dalam wujud eksploitasi seperti: 
pertambangan, penebangan hutan, pembangunan pertanian tanaman industri 
dan sebagainya, yang pada akhirnya semakin menumbuhkan disparitas sosial
 yang semakin akut, dan tidak merubah kehidupan masyarakat miskin dan 
malah memperkaya mereka yang sudah kaya.
Oleh
 karena itu dilihat dari perjalanan kemiskinan diatas, dalam konteks 
ke-Indonesiaan, Kemiskinan kultural merupakan buah dari kemiskinan 
struktural, masyarakat terbentuk menjadi fatalis, semakin pasrah, 
menganggap miskin sebagai nasib dan garis hidup, selain juga sering 
diperkual dalam mimbar-mimbar agama, mengenai pemahaman keliru mengenai 
takdir untuk selalu bersabar dan bersyukur, sebagaimana ajaran faham jabariyah, agar masyarakat tetap bersabar menerima ‘takdir’ yang ada.
Jika
 dilihat dari argumentasi diatas mayoritas kemiskinan yang hadir saat 
ini merupakan dominasi kemiskinan struktural, tidak ada proses 
transformasi kelas dimana buruh tani tetaplah menjadi buruh tani, begitu
 pula nelayan, pemulung, dan lain-lain. Jikapun ada program 
penanggulangan kemiskinan sifatnya residual, proyek, insidental, tidak 
berkelanjutan dan tidak mengena pada substansi atau menyentuh akar dari 
kemiskinan. 
~~
Akses kesehatan dan pendidikan sangat berperan untuk memutus mata rantai
 kemiskinan, jadi masyarakat miskin seharusnya diberi kemudahan untuk 
mengakses kedua faktor tersebut, bersyukur sekarang ini sudah banyak 
program pemerintah yang terfokus pada penyedia akses pelayan kesehatan 
dan pendidikan untuk orang miskin, seperti Jamkesmas & BSM , semoga saya mulai dari sekarang  banyak program-program  yg di jalan kan pemerintrah dan pihak-pihak sosial dalam memanggulangi masalah kemiskinan  http://rahmatullah.banten-institute.org/2010/04/kemiskinan-kultural-buah-dari.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar