Senin, 10 Oktober 2011

poligami di amerika ? knp tidak ?

Ternyata, di Amerika Serikat, ada orang yg mempraktikkan poligami, bahkan dengan argumentasi dan latar belakang yg ‘meyakinkan’ dan bisa membuat kita terperangah. Berikut penuturan kisahnya yang diceritakan oleh M. Syamsi Ali, yang juga  imam Masjid Islamic Cultural Center of New York. Syamsi adalah penulis rubrik “Kabar Dari New York” di hidayatullah.com.
“I am a Second Wife”
Masa SMU wanita Amerika itu hancur tatkala dirinya hamil diusia 17 tahun. Ia terpaksa menjadi ’single mother’ diusia muda. Namun hidupnya merasa nyaman setelah menjadi istri kedua seorang pria Muslim.
Sekitar tiga bulan lalu, the Islamic Forum yang diadakan setiap Sabtu di Islamic Center New York kedatangan peserta baru. Pertama kali memasuki ruangan itu saya sangka wanita Bosnia. Dengan pakaian Muslimah yang sangat rapih, blue eyes, dan kulit putih bersih. Pembawaannya pun sangat pemalu, dan seolah seseorang yang telah lama paham etika Islam.
Huda, demikianlah wanita belia itu memanggil dirinya. Menurutnya, baru saja pindah ke New York dari Michigan ikut suami yang berkebangsaan Yaman. Suaminya bekerja pada sebuah perusahaan mainan anak-anak (toys).
Tak ada menyangka bahwa wanita itu baru masuk Islam sekitar 7 bulan silam. Huda, yang bernama Amerika Bridget Clarkson itu, adalah mantan pekerja biasa sebagai kasir di salah satu tokoh di Michigan. Di toko inilah dia pertama kali mengenal nama Islam dan Muslim.
Biasanya ketika saya menerima murid baru untuk bergabung pada kelas untuk new reverts, saya tanyakan proses masuk Islamnya, menguji tingkatan pemahaman agamanya, dll. Ketika saya tanyakan ke Huda bagaimana proses masuk Islamnya, dia menjawab dengan istilah-istilah yang hampir tidak menunjukkan bahwa dia baru masuk Islam. Kata-kata “alhamdulillah”.”Masya Allah” dst, meluncur lancar dari bibirmya.
Dengan berlinang air mata, tanda kebahagiaannya, Huda menceritakan proses dia mengenal Islam.“I was really trapped by jaahiliyah (kejahilan)”, mengenang masa lalunya sebagai gadis Amerika. “I did not even finish my High School and got pregnant when I wan only 17 years old”, katanya dengan suara lirih. Menurutnya lagi, demi mengidupi anaknya sebagai ‘a single mother’ dia harus bekerja. Pekerjaan yang bisa menerima dia hanyalah grocery kecil di pinggiran kota Michigan.
Suatu ketika, toko tempatnya bekerja kedatangan costumer yang spesial. Menurutnya, pria itu sopan dan menunjukkan ‘respek’ kepadanya sebagai kasir. Padahal, biasanya, menurut pengalaman, sebagai wanita muda yang manis, setiap kali melayani pria, pasti digoda atau menerima kata-kata yang tidak pantas. Hingga suatu ketika, dia sendiri berinisiatif bertanya kepada costumernya ini, siapa namanya dan tinggal di mana.
Mendengar namanya yang asing, Abdu Tawwab, Huda semakin bingung. Sebab nama ini sendiri belum pernah didengar.
Sejak itu pula setiap pria ini datang ke tokonya, pasti disempatkan bertanya lebih jauh kepadanya, seperti kerja di mana, apa tinggal dengan keluarga, dan lainnya.
Perkenalannya dengan pria itu ternyata semakin dekat, dan pria itu juga semakin baik kepadanya dengan membawakan apa yang dia sebut ‘reading materials as a gift”. Huda mengaku, pria itu memberi berbagai buku-buku kecil (booklets).
Dan hanya dalam masa sekitar tiga bulan ia mempelajari Islam, termasuk berdiskusi dengan pria tersebut. Huda merasa bahwa inilah agama yang akan menyelamatkannya.
“Pria tersebut bersama isterinya, yang ternyata telah mempunyai 4 orang anak, mengantar saya ke Islamic Center terdekat di Michigan. Imam Islamic Center itu menuntun saya menjadi seorang Muslimah, alhamdulillah!”, kenang Huda dengan muka yang ceria.
Tapi untuk minggu-minggu selanjutnya, kata Huda, ia tidak komunikasi dengan pria tersebut. Huda mengaku justeru lebih dekat dengan isteri dan anak-anaknya. Kebetulan lagi, anaknya juga berusia tiga tahun, maka sering pulalah mereka bermain bersama. “Saya sendiri belajar shalat, dan ilmu-ilmu dasar mengenai Islam dari Sister Shaima, nama isteri pria yang mengenalkannya pada Islam itu.
Kejamnya Poligami
Sementara itu di suatu hari, dalam acara The Islamic Forum, minggu lalu, datang seorang tamu dari Bulgaria. Wanita dengan bahasa Inggris seadanya itu mempertanyakan keras tentang konsep poligami dalam Islam. Bahkan sebelum mendapatkan jawaban, perempuan ini sudah menjatuhkan vonis bahwa “Islam tidak menghargai sama sekali kaum wanita”, katanya bersemangat.
Huda, yang biasanya duduk diam dan lebih banyak menunduk, tiba-tiba angkat tangan dan meminta untuk berbicara. Saya cukup terkejut. Selama ini, Huda tidak akan pernah menyela pembicaraan apalagi terlibat dalam sebuah dialog yang serius. Saya hanya biasa berfikir kalau Huda ini sangat terpengaruh oleh etike Timur Tengah, di mana kaum wanita selalu menunduk ketika berpapasan dengan lawan jenis, termasuk dengan gurunya sendiri.
“I am sorry Imam Shamsi”, dia memulai. “I am bothered enough with this woman’s accusation”, katanya dengan suara agak meninggi. Saya segera menyelah: “What bothers you, sister?”. Dia kemudian menjelaskan panjang lebar kisah hidupnya, sejak masa kanak-kanak, remaja, hingga kemudian hamil di luar nikah, bahkan hingga kini tidak tahu siapa ayah dari anak lelakinya yang kini berumur hampir 4 tahun itu.
Tapi yang sangat mengejutkan saya dan banyak peserta diskusi hari itu adalah ketika mengatakan: “I am a second wife.” Bahkan dengan semangat dia menjelaskan, betapa dia jauh lebih bahagia dengan suaminya sekarang ini, walau suaminya itu masih berstatus suami wanita lain dengan 4 anak. “I am happier since then“, katanya mantap.
Dia seolah berda’wah kepada wanita Bulgaria tadi: “Don’t you see what happens to the western women around? You are strongly opposing polygamy, which is halaal, while keeping silence to free sex that has destroyed our people” ,jelasnya. Saya kemudian menyela dan menjelaskan kata “halal” kepada wanita Bulgaria itu.
“I know, people may say, I have a half of my husband. But that’s not true“, katanya. Lebih jauh dia menjelaskan bahwa poligami bukan hanya masalah suami dan isteri. Poligami dan kehidupan keluarga menurutnya, adalah masalah kemasyarakatan. Dan jika seorang isteri rela suaminya beristeri lagi demi kemaslahatan masyarakat, maka itu adalah bagian dari pengorbananya bagi kepentingan masyarakat dan agama.
Kami yang dari tadi mendengarkan penjelasan Huda itu hanya ternganga. Hampir tidak yakin bahwa Huda adalah isteri kedua, dan juga hampir tidak yakin kalau Huda yang pendiam selama ini ternyata memiliki pemahaman agama yang dalam.
Saya kemudian bertanya kepada Huda: “So who is your husband?” Dengan tertawa kecil dia menjawab “the person who introduced me to Islam”.Dan lebih mengejutkan lagi: “his wife basically suggested us to marry”, menutup pembicaraan hari itu.
Diskusi Islamic Forum hari itu kita akhiri dengan penuh bisik-bisik. Ada yang setuju, tapi ada pula yang cukup sinis. Yang pasti, satu lagi rahasia terbuka. Saya sendiri hingga hari ini belum pernah ketemu dengan suami Huda karena menurutnya, “he is a shy person. He came to the Center but did not want to talk to you”, kata Huda ketika saya menyatakan keinginan untuk ketemu suaminya.
“Huda, may Allah bless you and your family. Be strong, many challenges lay ahead in front of you”, masehatku. Doa kami menyertaimu Huda, semoga dikuatkan dan dimudahkan!


http://www.vivaborneo.com/poligami-di-amerika-serikat-kenapa-tidak.htm#more-218

kemiskinan 2



Kemiskinan dalam perspektif ekonomi, didefiniskan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan. Sumber daya dalam konteks ini tidak hanya aspek finansial, melainkan semua jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan dalam arti luas. Kemiskinan ini menggunakan indikator yang sifatnya materi seperti kepemilikan harta benda, income perkapita, maupun konsumsi sebagaimana Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan indikator konsumsi sebesar 21,00 kalori/ orang setiap hari yang disetarakan dengan pendapatan tertentu, atau pendekatan Bank Dunia yang menggunakan standar 1 dolar AS/ orang setiap hari. Contoh kemiskinan ini adalah tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan beserta akses lain, seperti kesehatan, pekerjaan maupun pendidikan.
Kemiskinan dalam perspektif kesejahteraan sosial  mengarah  pada keterbatasan individu atau kelompok dalam mengakses jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Faktor penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal, dalam hal ini bersumber dari si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan dan adanya hambatan budaya. Sedangkan faktor eksternal berasal dari luar kemampuan sesorang tersebut, seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang menghambat seseorang mendapatkan sumber daya. Secara sederhana kemiskinan dalam persepektif ilmu kesejahteraan sosial dimaknai sebagai kemiskinan yang pada awalnya disebabkan oleh kemiskinan ekonomi, kemudian dikarenakan terlalu lama dalam kondisi tersebut baik karena faktor tidak disengaja, disengaja maupun karena dipelihara menyebabkan efek domino yaitu tumbuhnya patologi atau masalah-masalah sosial. Sedangkan resiko ketika kemiskinan sudah menjadi masalah sosial adalah selain harus menyelesaikan masalah ekonomi itu sendiri juga mengatasi masalah sosial yang timbul. Contohnya adalah: munculnya kriminalitas, budaya malas, korupsi, disparitas sosial yang menyebabkan konflik, dan ketergantungan pada pihak lain.
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang muncul bukan karena ketidakmampuan si miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja. Struktur sosial tersebut tidak mampu menguhubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang tersedia, baik yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun masyarakat yang ada disekitarnya. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini adalah buruh tani, pemulung, penggali pasir dan mereka yang tidak terpelajar dan tidak terlatih. Pihak yang berperan besar dari terciptanya kemiskinan struktural ini adalah pemerintah, karena pemerintah yang memiliki kekuasaan dan kebijakan cenderung membiarkan masyarakat dalam kondisi miskin, tidak mengeluarkan kebijakan yang pro masyarakat miskin, jikapun ada lebih berorientasi pada proyek, bukan pada pembangunan kesejahteraan. Sehingga tidak ada masyarakat miskin yang ‘naik kelas’, artinya jika pada awalanya buruh, nelayan, pemulung maka selamanya menjadi buruh nelayan dan pemulung, karena tidak ada upaya dalam menaikan derajat dan kemampuan mereka baik itu dalam kesempatan pendidikan atau pelatihan.
Sedangkan kebudayaan kemiskinan, merupakan kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Dalam komunitas lokal ditemui ada rumah yang bobrok, penuh sesak dan bergerombol. Ditingkat keluarga, masa kanak-kanak cenderung singkat, cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu mereka ada perasaan tidak berharga, tidak berdaya dan rendah diri akut.
Pandangan lain tentang budaya kemiskinan adalah, bahwa kebudayaan kemiskinan merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan struktural yang menghinggap masyarakat terlalu lama, sehingga membuat masyarakat apatis, pasrah, berpandangan jika sesuatu yang terjadi adalah takdir, dalam konteks keagamaan disebut dengan paham Jabariah, terlebih paham ini disebarkan dan di doktrinasikan dalam mimbar agama. Contoh kemiskinan ini ada pada masyarakat pedesaan, komunitas kepercayaan atau agama, dan kalangan marginal lainnya.
Dalam konteks kemiskinan di Indonesia, jika ditinjauan dari makalah Masalah-Masalah Kemiskinan, secara tidak langsung menunjukkan adanya keterkaitan antara kemiskinan struktural dengan kemiskinan kultural, terlebih status indonesia selain sebagai negara berkembang, juga mengalami proses sejarah penjajahan yang amat panjang, kurang lebih 350 tahun. Dimulai dari pemerintah kolonial belanda yang menanamkan komersialisasi pertanian dalam bentuk perpajakan, pembukaan lahan baru dan membuka jalan raya, yang justru dampaknya adalah merosotnya kesejahteraan petani, memperkaya mereka yang memiliki modal besar yaitu elit-elit ekonomi desa. Pasca penjajahan belanda, pemerintah orde lama fokus pada pembangunan aspek politik, proses pengintegrasian wilayah jajahan belanda kedalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada fase ini kondisi perekonomian negara jauh dari stabil, penanganan masalah kemiskinan belum menjadi prioritas. Masyarakat tidak beranjak dari situasi miskin karena secara struktural tidak terprioritaskan.

Pada saat pemerintahan orde baru, kebijakan politik mulai terarahkan pada usaha mengatasi kemiskinan, melalui jalan melakukan pinjaman dana kepada lembaga luar negeri yaitu IGGI yang kemudian berganti nama menjadi CGI. Namun dampak dari kebijakan ini bukan malah menghapus masalah kemiskinan, melainkan menciptakan kemiskinan babak baru, dimana tumbuhnya industrialisasi di desa-desa dalam wujud eksploitasi seperti: pertambangan, penebangan hutan, pembangunan pertanian tanaman industri dan sebagainya, yang pada akhirnya semakin menumbuhkan disparitas sosial yang semakin akut, dan tidak merubah kehidupan masyarakat miskin dan malah memperkaya mereka yang sudah kaya.
Oleh karena itu dilihat dari perjalanan kemiskinan diatas, dalam konteks ke-Indonesiaan, Kemiskinan kultural merupakan buah dari kemiskinan struktural, masyarakat terbentuk menjadi fatalis, semakin pasrah, menganggap miskin sebagai nasib dan garis hidup, selain juga sering diperkual dalam mimbar-mimbar agama, mengenai pemahaman keliru mengenai takdir untuk selalu bersabar dan bersyukur, sebagaimana ajaran faham jabariyah, agar masyarakat tetap bersabar menerima ‘takdir’ yang ada.
Jika dilihat dari argumentasi diatas mayoritas kemiskinan yang hadir saat ini merupakan dominasi kemiskinan struktural, tidak ada proses transformasi kelas dimana buruh tani tetaplah menjadi buruh tani, begitu pula nelayan, pemulung, dan lain-lain. Jikapun ada program penanggulangan kemiskinan sifatnya residual, proyek, insidental, tidak berkelanjutan dan tidak mengena pada substansi atau menyentuh akar dari kemiskinan.
~~
Akses kesehatan dan pendidikan sangat berperan untuk memutus mata rantai kemiskinan, jadi masyarakat miskin seharusnya diberi kemudahan untuk mengakses kedua faktor tersebut, bersyukur sekarang ini sudah banyak program pemerintah yang terfokus pada penyedia akses pelayan kesehatan dan pendidikan untuk orang miskin, seperti Jamkesmas & BSM , semoga saya mulai dari sekarang  banyak program-program  yg di jalan kan pemerintrah dan pihak-pihak sosial dalam memanggulangi masalah kemiskinan 



http://rahmatullah.banten-institute.org/2010/04/kemiskinan-kultural-buah-dari.html

Kemiskinan

Penduduk dan pembangunan saling bertemali erat secara timbal-balik. Pertalian penduduk dan pembangunan dapat dilihat dalam konteks ekonomi, terkait dengan agregat produksi dan konsumsi sumber daya.

Pertumbuhan penduduk yang cepat dan jumlah yang makin besar akan menggerus sumber yang tersedia. Jumlah penduduk yang terus meningkat menuntut ketersediaan sumber daya secara memadai dan berkelanjutan. Bila sumber daya tak mencukupi untuk dikonsumsi, hal itu akan melahirkan kelangkaan yang mengarah pada perebutan sumber daya di antara penduduk yang dapat memicu konflik.

Berbagai kalangan telah mengingatkan bahaya pertumbuhan penduduk yang tak terkendali. Sampai 2010, penduduk Indonesia sudah berjumlah 238 juta dan pada 2025 nanti diprediksi akan mencapai 273,2 juta. Ledakan penduduk jelas menjadi ancaman serius yang amat mencemaskan.

Ancaman paling nyata adalah kian meningkatnya kemiskinan, terutama bila laju pertumbuhan penduduk tidak dibarengi kemampuan menyediakan kebutuhan dasar: pangan, sandang, papan. Logika pemikiran ini sangat dipengaruhi mazhab Malthusian yang berhipotesis bahwa pertumbuhan penduduk bergerak secara eksponensial (cepat), sementara sumber daya pendukung, terutama pasokan kebutuhan dasar,bergerak secara aritmetikal (lambat).

Hipotesis lanjutan Malthus dapat diringkas dalam rumusan berikut: pertumbuhan penduduk berkorelasi positif dengan pendapatan per kapita. Namun, pertumbuhan penduduk pada akhirnya akan menurunkan pendapatan sehingga tidak semua orang memperoleh bagian kekayaan secara merata.

Selain itu, penduduk yang berjumlah besar niscaya mengonsumsi sumber daya yang besar pula,padahal daya dukung sumber daya terbatas sehingga penduduk akan terjebak pada perangkap kemiskinan. Pertumbuhan penduduk yang tak terkendali merupakan pangkal utama kemiskinan.

Orang terjerat kemiskinan karena punya keluarga berukuran besar tanpa daya dukung ekonomi yang kuat untuk menopangnya. Karena itu,pembatasan jumlah anak untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk mutlak dilakukan.

Maksimalkan Potensi

Namun, hipotesis Malthus ini kemudian disanggah oleh banyak ilmuwan, terutama para ahli ekonomi dan demografi. Pokok kritik mereka bertumpu pada penilaian bahwa Malthus hanya melihat penduduk sebagai faktor tunggal kemiskinan dan cenderung mengabaikan banyak faktor determinan yang lain.

Kemiskinan bersifat multidimensional yang tak bisa dijelaskan hanya dengan menggunakan pendekatan the Malthusian calculus semata. Para penyangga argumen Malthus ini merujuk pandangan Karl Marx yang mengatakan bahwa penduduk adalah kekuatan produksi sekaligus konsumsi.

Penduduk punya kemampuan menciptakan kekayaan dan memproduksi sumber daya, bahkan melampaui kebutuhan konsumsi untuk diri sendiri. Penduduk yang terus tumbuh memang akan mengonsumsi sumber daya. Namun,penting dicatat,pertumbuhan per kapita dalam hal produksi melampaui pertumbuhan per kapita dalam hal konsumsi.

Salah seorang kritikus, Karl Persson,menulis: the fears that Malthus expressed seem to be utterly misplaced.World population has increased by a factor of six, world food production by a factor of ten, and still not all land fit for agriculture is currently being used (An Economic History of Europe: Knowledge, Institutions, and Growth, Cambridge, 2010).

Bahkan pemikir beraliran neoliberal seperti Julian Simon tiga dekade silam juga telah menyanggah argumen Malthus dalam Population: The Ultimate Resource (1981) yang memicu polemik hangat di kalangan para sarjana dan akademisi dunia.Berbeda dari pandangan Malthus yang menyebut penduduk sebagai konsumen yang memerlukan pasokan sumber daya, Simon berargumen bahwa penduduk itu sendiri adalah sumber daya,punya daya cipta, dan dengan kelengkapan fisik serta pikiran yang sempurna mampu bekerja, mengelola, bahkan menciptakan sumber daya baru.

Agar penduduk dapat berfungsi menjadi kekuatan utama dalam menggerakkan pembangunan ekonomi dan memacu produktivitas nasional, negara harus berinvestasi untuk mengembangkan sumber daya insani, terutama melalui pendidikan dan kesehatan.

Investasi diperlukan untuk pengembangan keahlian teknis dan penguasaan teknologi sehingga potensi penduduk menjadi optimal untuk berproduksi dan tidak mengonsumsi sumber daya semata.Simon berpandangan bahwa peran penduduk dalam proses produksi jauh lebih besar dan menentukan dibandingkan dengan peran mereka sebagai konsumen.

Distribusi Pendapatan

Para kritikus melawan argumen Malthus dengan keyakinan bahwa sejatinya bukan pertumbuhan penduduk yang menjadi pangkal kemiskinan, melainkan ketidakadilan dalam distribusi pendapatan. Kemiskinan adalah produk pembangunan yang terkait dengan pilihan kebijakan ekonomi yang diterapkan di suatu negara. Saksikan, di banyak negara kebijakan pembangunan ekonomi lebih berorientasi pada ekonomi kapitalis yang cenderung menciptakan ketidakadilan sosial.

Maka, klaim bahwa jumlah penduduk besar menjadi sumber utama kemiskinan jelas mengabaikan fakta betapa sebaran kemiskinan dan ketidakmerataan kekayaan secara geografis dan kelompok sosial lebih berkaitan dengan sifat dan struktur ekonomi kapitalis yang eksploitatif, dominatif, dan hegemonik, bukan ukuran dan tingkat pertumbuhan penduduk.

Sungguh, masalah ketidakadilan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan menjadi gejala umum yang kerap dijumpai di berbagai belahan bumi, terutama di negaranegara sedang berkembang, termasuk Indonesia.Menurut Duncan Green, ketidakadilan distribusi pendapatan dalam skala global sungguh mencengangkan dan memilukan hati.

Pendapatan 500 orang paling kaya (miliarder) di dunia melampaui pendapatan 416 juta orang paling miskin! Di negara-negara sedang berkembang, setiap menit dalam sehari satu perempuan meninggal saat melahirkan atau hamil yang tak mendapat pertolongan medis dan 20 anak meninggal akibat aneka penyakit: malaria, diare.

Di negaranegara miskin terdapat 800 juta orang menderita kelaparan, sementara di negara-negara kaya jutaan orang mengidap obesitas karena makan berlebihan (lihat From Poverty to Power, Oxford,2008). Seperti umumnya negara-negara sedang berkembang, Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat ketimpangan pendapatan paling tinggi di antara kelompok masyarakat kayamiskin.

Kesenjangan sosial ekonomi antarlapisan penduduk demikian mencolok yang kian menegaskan ancaman kemiskinan bilamana penduduk tumbuh tak terkendali.Dengan tetap memandang penting untuk melakukan pengendalian pertumbuhan penduduk, sesuatu yang fundamental penting pula dilakukan: menggeser orientasi pembangunan dan mengubah pilihan kebijakan ekonomi.

Para kritikus menilai bahwa sumber utama kesenjangan sosial di Indonesia adalah kebijakan ekonomi yang berbasis pasar bebas—penjelmaan ideologi kapitalis neoliberal. Bila kebijakan ekonomi kapitalis yang menggeruskeadilanterusdipertahankan, laju pertumbuhan penduduk memang hanya akan mempercepat peningkatan kemiskinan belaka.● AMICH ALHUMAMI Peneliti Sosial di Department of Anthropology, University of Sussex, United Kingdom




Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/404657/